Perpustakaan Daerah Pandeglang di Ujung Tanduk

Sumber foto pribadi perpusda pandeglang
"Kemarin-kemarin gue ke perpusda niatnya pinjam buku."

"Terus?"

"Dilarang njir, alasannya lagi input data wk."

"Lah, itu input data nggak niat amat, sudah sebulan lebih nggak kelar-kelar. Dari awal gue udah bilang sama elo, udah jangan ke sana, lagian apa menariknya. Fasilitas kurang, ruangan pengap, pelayanan nggak sigap, pinjam buku di batas, gimana mau kita-kita minat bro, kalau fasilitasnya aja kayak gitu hah!"

"Yeah, elo bener. But anyway bro! Massa kita hanya diam aja melihat surga nya ilmu kayak begini."

"Yeah, kita harus diam, karena kita kalah suara. Percuma mempromosikan perihal literasi kalau pihak-pihak terkaitnya bungkam minim suaranya, hanya seremonial belaka esensinya nggak ada. Tiap pemilu hanya ramai di awal-awal doang, tapi ending-nya kembali apatis."

"Nggak percuma bro, kalo kita punya niat tulus untuk membangunnya."

"Terserah lo deh!"

Dan nggak aktif. Dasar temen laknat! Rutuk gue.


Surga nya ilmu itu adalah perpustakaan karena di situ kita akan mendapatan banyak pengetahuan. Harusnya surga itu di buka selebar-lebarnya dan di promosikan semenarik-nariknya biar pada minat. 

Seperti halnya Tuhan mempromosikan surga lewat firman-firman-Nya. Akhirnya pada minat.

Memang sih sekarang ini dengan akses yang mudah seperti, goagle dan aplikasi-aplikasi yang smart memudahkan kita untuk membaca. Tapi pertanyaannya apakah semuanya suka? Tidak. Tanpa ada yang mempromosikan.

Di situlah peran pustawakan bergerak mengajak semuanya baik secara online mau pun offline mencintai literasi.

Dalam kecamata gue, perpusda pandeglang sudah berada di ujung tanduk. Tentu, gue nggak asal ngomong tanpa punya data-datanya. Diantaranya adalah :

 1.  Akses

     Sebelum gue tahu di mana letaknya perpus, carinya itu susah bat dah. Tapi Tuhan emang nggak tidur, tiba-tiba guru gue di sekolah myaranin buat baca buku keliling di alun-alun setiap hari Minggu. Karena penasaran, gue dateng dong, dan kebetulan ada. Di situ gue berbincang soal perpusda di mana dan lain sebagainya.

Gue kira tempatnya asyik, eh nyatanya biasa aja. Di tambah aksesnya nggak menarik, buat yang belum tahu mungkin nggak nyadar bahwa itu perpus. 

Temen gue sampai kaget pas tahu bahwa bangunan yang biasa di lewati tiap hari ternyata perpus. Itu dia, apalagi gue dan beberapa orang yang belum tahu, mungkin nyangkanya itu bangunan kuno atau museum. Pethatikan, dari mulai akses aja nggak tepat bagaimana orang-orang pada minat.

 2. Ruangan

    Ruangan perpusda seperti yang gue kata tadi, kayak bangunan lama nggak terkelola dengan baik, di tambah mobil-mobil sudah tak layak pakai menghiasi lingkungan tersebut, top! Orang-orang yakin bahwa itu bangunan tua. 

Iseng-iseng gue cari informasi kan terkait bangunanya. Eh, ternyata itu bekas rumah sakit. Crazy men, perpus bekas rumah sakit! Gue nggak masalah kalau itu bekas rumah sakit atau sekalipun bekas pembuangan sampah, yang paling penting adalah bentuk bangunannya harus di bangun. Kalau gitu aja apa menariknya?

Misalnya elo diberi pilihan, mau ke perpus dengan suasana ngantuk, pelayanannya jutek-jutek atau mau ke pantai dengan suasana menarik plus di traktir tiket sama Nissa Sabyan, elo pilih mana? Sekutu-kutunya elo ke buku jika pilihannya begitu, ya, gue jamin elo pilih ke pantai. Sekali-kali healing euy. Mengapa elo pilih pantai? Salah satunya menarik, bukan minat. Jangan dibalik, minat dulu batu tertarik, itu keliru.

 3. Pelayanan

  Semua orang mungkin akan senang jika mendapatkan pelayanan yang baik, entah itu di dalam transaksi jual beli atau apa pun. Dan bukan senang saja, tapi kita juga merasa puas. Yeah, begitulah sebaiknya transaksi berjalan. Bukan manyun, jutek, dan apatis.

Gue lihat yang menjaga perpusda itu muka-mukannya penuh beban, kayak terpaksa banget. Padahal idealnya kan harus membimbing para pengunjung untuk makin suka lagi, bukan makin bosan. Gue pernah coba-coba nanya buku yang sebenarnya nggak gue cari, biar tahu aja responnya gimana.

Kalo dia menyambut baik, sambil bepikir sejenak di mana letak buku itu, gue bisa menyimpulkan suka baca. Kalau menjawab keluar dari pembahasan itu atau diam aja gue dapat simpulkan nggak doyan baca. Hasilnya benar, rata-rata para pengurus perpus nggak suka baca! Sukannya tiduran sambil wifian, kesel dikit pergi keluar.

Memang sih urusan baca buku itu nggak setiap orang suka. But anyway bro, elo berada di dalam bidang itu, sudah seharusnya suka membaca. Kalau nggak mau, ya, sadar diri biar orang lain nggak kena imbasnya.

Upaya gue untuk menguji penjaga perpus memang bukanlah sifat terpuji, tapi yeah, itulah yang terjadi. 

Gue teringat kata Jim Kwik, seorang pakar otak mengatakan. "Telur yang pecah dari dalam, itu adalah awal meuju kehidupan. Sedangkan telur yang pecah dari luar, itu adalah akhir dari kehidupan." Maksudnya adalah, segala hal apa pun akan terjadi perubahan jika di mulai dari dalam itu sendiri, bukan luar.

Seperti halnya kasus di perpus. Bila menginginkan perubahan dari luar (pengunjung banyak) perubahannya tidak tidak akan signifikan. Sebaliknya, bila dari dalam sendiri mulai dirubah, insya Allah akan spesifik perubahannya.

Selain di pelayanan yang kurang baik, jumlah pinjam buku juga di batas, hanya cukup dua buku dalam se-minggu. Bayangin kalau gue pinjam buku yang sekali duduk beres, sedangkan waktu pengembaliannya masih lama, apa gue harus datang lagi ke sana? Yeah. Pinjam lagi? Yeah. Ongkosnya? Nah ini yang bikin gue suka bingung.

Gue ingin gitu ada peraturan baru, buat pembaca lama boleh pinjam buku lebih dari dua, asalkan dengan syarat bla-bla-bla.  Bukan di sama ratakan semua, apaan ini, sampah! Gue sering protes perihal ini, jawabannya apa coba, dari sananya gitu nggak bisa dirubah, aaah! Kalau sampah tetap sampah!!

Terakhir gue greget melihat perpus keliling nggak berjalan lagi. Kenapa coba, jaminan ada dari pemerintah! Gajih dapat! Apa lagi yang dipersoalkan? Gue sudah berapa kali mempertanyakan program ini kenapa nggak berjalan lagi, jawabannya geli bat dah. NGGAK PUNYA DANA!!! Kalo nggak punya dana, gajih itu dari mana? Dari daun-daun? Kan nggak! 

Ini aneh, sekelas perpustakaan daerah! Nggak punya anggaran buat meningkatkan program yang sudah di tetapkan. Apa artinya 12 program di RPJMD! Kalau pada prakteknya nggak ada sama sekali. Nanti ada calon baru lagi, promosi soal literasi, dan berjanji ending-nya sama aja. 

Harus berapa lama lagi kita mulai sadar akan pentingnya peduli literasi. Harus sampai berapa lama lagi spanduk-spanduk peduli literasi dibarengi dengan fotonya tersenyum, berakhir. Harus sampai berapa lama lagi! Bersikap apatis terhadap hal yang sentral ini. Dan harus berapa lama lagi orang-orang prgmatis dan apatis berakhir meninggalkan kehidupan yang sudah kacau ini.

Semua itu akan berubah dengan baik, jika dimulai dari diri sendiri. Berhenti menyalahkan keadaan secara berlebihan, karena itu juga tidak baik. Fokus membangun dari hal terkecil sesuai kemampuan masing-masing, sebelum ke pembangunan yang besar.

Pada akhirnya mau diam atau pun bersuara, itu tetaplah sama. Realita secara tidak langsung memaksa itu untuk mengikuti dinamika yang terjadi, lantas apa yang harus kita lakukan? Gol a goang pernah berkata, "Sejahterakan dan berdayakan dulu diri kita sebelum membuat dobrakan." Tentu, tujuan baik akan berjalan dengan baik, jika kita tahu cara me-manage nya seperti apa. Bukan asal gerak tapi kosong isinya.







Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement