Memaknai Hidup Dalam Kecamata Mereka

Bersama Najwa di Perpusda Pandeglang
"Apa makna hidup, dalam kecamata elo?" Tanya gue ke Najwa, kebetulan pada saat itu kami bisa berjumpa di Perpusda Pandeglang.

"Hidup itu adalah pilihan." Ia berhenti sejenak mencari kata-kata yang tepat, lalu melanjutkan. 

Kita setiap hari selalu memilih mana yang baik, mana yang buruk buat hidup. Benar dalam kecamata kita belum tentu diterima oleh orang lain, apalagi salah. Untuk hal ini, dia menekankan bahwa dalam pilihan itu harus fleksibel di waktu yang tepat. Tidak setiap hal pilihan yang kita anggap benar, dan layak dilakukan belum tentu tepat. Harus dipikir-pikir matang sebelum memutuskan. Dan yang terpenting adalah, jangan keluar dari keempat norma berlaku.

Tensi obrolan sengaja gue percepat karena waktunya mepet, gue mikirnya gini kalau satu point pertanyaan gue kembangin, pasti banyak waktunya nggak bakalan cukup. Itu baru satu point, sedangkan masih ada beberapa point, buset dah. 

Dalam kecamatanya, kehidupan orang-orang itu gimana lingkungannya. Ada orang yang berjuang dalam lingkungan tidak mendukung, pun sebaliknya ada orang yang tidak mau berjuang dalam lingkungan yang tidak mendukung itu. Dan itu adalah pilihan. Kita tidak bisa menghakimi apalagi melarangnya dalam melakukan sesuatu yang ingin dia lakukan. Tugas kita hanyalah memastikan apa yang dia lakukan itu bertentangan nggak dengan norma agama, hukum, norma kesusilaa, dan norma kesopanana. Bila bertentangan, ingatkan dengan cara yang tepat sesuai kemampuan masing-masing. 

Awalnya gue benturkan pemikiran dia yang memaknai hidup itu adalah, pilihan. Contohnya ada orang yang kecelakaan di depan mata, alih-alih membantu ini malah sibuk memotret buat dijadikan status WA, ketika dia dianggap tidak berprikemanusiaan nggak terima, karena alasannya ini adalah pilihannya dan setiap orang bisa mempunyai pilihannya masing-masing.  Menjawab hal itu, dia mengatakan dengan santai.

Setiap orang memang mempunyai pilihan masing-masing. Cuman pilihan itu harus digunakan di waktu yang tepat, bila tidak bakalan kiamat.

Yeah, kurang lebih seperti itu. Gue pikir-pikir iya juga yah. Pilihan yang digunakan di waktu yang tepat akan melahirkan manfaat, sedangkan di waktu yang tidak tepat bakalan melahirkan masalah-masalah baru. Pisau aja contohnya, buat memotong bahan-bahan sayuran itu tepat tapi bila buat memotong tangan itu tidak baik, kecuali tangan koruptor yah haha anjay juga. 

Masih perihal lingkungan, orang-orang kadang sering bertengkar dengan dirinya sendiri tentang tujuannya ke depan apa, bila dia sudah memasuki pemikiran tujuan maka dia akan masuk ke fase kesadaran diri, lalu setelah itu bingung. Yeah, bingung mau ngapain, bingung kenapa kita berbeda dengan yang lain dan bingung. Bingung. Aky memikirkannya wkwk. 

Di fase bingung ini akan lahir dua orang. Pertama orang yang bingung doang tanpa mencari tahu episode selanjutnya karena takut, cemas, tidak yakin dengan keputusannya. Kedua orang yang bingung dia terus belajar agar tidak bingung meskipun berkali-kali terdampar, terluka oleh badai kehidupan, akhirnya dia mendapatkan arti khidupannya untu apa. 

Miris memang melihat orang-orang zaman sekarang yang dimudahkan oleh teknologi tapi rela menenggelamkan diri dalam lautan penyesalan, karena takut keluar dari bingung itu. Yang gue tangkap dari pemikiran Najwa di sini adalah lebih baik bingung oleh kebingungan kita dalam proses mencari arti kehidupan, dari pada bingung lalu diam saja tidak berusaha, ujung-ujungnya tetap bingung. 

Padahal kalau kita sedetik aja mau meluangkan waktu buat berpikir, di zaman sekarang bukan saja dimudahkan oleh teknologi melainkan ada kontrubusi-kontribusi dari orang-orang yang membantu kita buat keluar dari kebingungan. Cuman yeah, kita kadang terlalu sibuk memikirkan masalah pribadi dan mengesampingkan kontribusi orang lain yang diberikan kepada kita. Akhirnya apa yang terjadi? Menjalani kehidupan dengan cara egois dan pragmatis dalam membantu orang lain. Yeah, begitulah.

"Bila elo kembali ke masa lalu, apa yang ingin elo ubah?"

Memaksimalkan kesempatan. Secara tidak sadar memang setiap hari Tuhan memberikan kesempatan kepada kita, cuman kadang kita nya aja yang terlalu terburu-buru tidak mengambilnya dengan aasan bermacam-macam. Bisa karena takut, menunggu moment dan lain sebagainya. Yang paling parah adalah menyangkan kesempatan dulu tanpa memaksimalkan kesempatan yang baru. Padahal, biarlah kesempatan dulu yang gagal atau tidak diambil dijadikan pelajaran buat ke depan, bukan malah menghambat kesempatan yang lain. 

Berdamailah dengan kesempatan yang dulu tidak kita maksimalkan. Dan gunakanlah kesempatan sekarang agar kelak kita tidak menyesal yang kedua kalinya.

Ada pandangan orang-orang yang dalam pandangan gue mematikan harapan akan masa depan, yaitu adalah kesempatan tidak bakalan datang dua kali. Yeah itu benar. Tapi tidak setiap kesempatan itu kita ambil semua, seolah-olah nanti nggak ada lagi dan sebagainya, yeah. Harusnya kita menyikapi hal itu dengan, ya udah itu pelajaran bahwa ke depan saya harus lebih baik lagi, sat-set lagi, bukan malah merutuki diri. Ujung-ujungnya bundir kan bahaya.

Hal yang ingin dia lakukan di masa depan adalah belajar tidak menyepelekan sesuatu, mengatur waktu tidur (meskipun gue meragukan sih wkwk) dan memaksimalkan kesempatan-kesempatan yang datang tanpa menunggu moment yang tepat. 

Ada yang membuat gue makin tahu tentangnya lebih dalam ketika sedikit menceritakan hal menyakitkan apa yang pernah dia lakukan, sampai terbentuk menjadi pribadi sekarang, dan sampai hidup sampai sekarang? Ada beberapa hal cuman gue akan spill dua. Bukan KUA yah haha. 

 1. Ketika diberi kepercayaan

Dulu pas sekolah dia lomba mewakili sekolah, dan secara naluriah tentunya itu akan menjadi kebanggaan tersendiri. Apalagi sampai ada orang-orang yang memberi support lebih, atau minimal berpura-pura ngasih kata semangat kakak. Ini nggak, biasa aja gitu. Terkesan kayak disepelekan. Padahal dia berjuang buat nama sekolah loh, bukan nama keluarga. Tapi ya, gitulah nggak ada support sama sekali. Dalam fase ini memang kalau kita berpikir secara objektif tidak menyenangkan. Celakanya dia menginginkan dispesialkan. 

Pas dia bilang ingin dispesialkan pikiran gue tiba-tiba traveling mengingat apa yang dikatakan oleh Mark Marson dalam sebuah bukunya sebuah seni bersikap bodo amat, dia mengatakan seperti ini. 

"Ada dua alasan kenapa orang ingin dispesialkan. Pertama, dia lahir dari keluarga atau lingkungan spesialkan jadi dia menuntut orang buat dispesialkan. Kedua, orang yang ingin dikasihani dari latar belakang keluarga atau lingkungan tidak mendukung sehingga memaksa orang-orang untuk menspesialkan." 

Dalam kecamata gue, dia masuk ke point kedua. Karena tidak diperlakukan baik oleh lingkungan sekitar dia merasa perlu dikasihani dengan cara dispesialkan. Yang gue salut darinya adalah, itu tidak lama dilakukan setelah sedikit membuka ruang dalam diri buat menerimanya. Sehingga, ya udah gitu capek-capek amat ingin dimengerti kalau pada akhirnya tetap merasa sakit hati. Ini susah dilakukan perlu proses panjang buat menerimanya. 

 2. Terbebani Tugas

Dia pernah terbebani oleh tugas yang seharusnya dikerjakan oleh satu kelas, pada saat diberi tugas oleh Dosen. Setiap hari waktunya digunakan untuk mengerjakan tugas itu sampai orang tuanya iba, beruntungnya ada satu teman yang mau meluangkan waktu buat membantu. Hasilnya alhamdulillah sukses tapi yang gue sayangkan adalah dia belum maksimal menggunakan kesuksesan itu untuk menggantikan rasa cemas, lelah, letih mikir, saat mengerjakan tugas. Yeah, untuk hal ini dia mengatakan sedang proses menggunakan hasil setiap apa yang dia lakukan dengan cara mengasih reward kepada diri sendiri.

Perbincangan yang masih panjang terpaksa kami pending dulu karena perpuda sebentar lagi mau tutup. Ditambah kami belum shalat Ashar, jadi nanti lanjut di alun-alun. 

"Di tahun 2023, sebutkan satu hal apa yang elo dapat, Co?" Tanya dia spontan ketika menuju Masjid Agung

"Banyak. Salah satunya hidup ini adakalanya bersikap objektif dan subjektif di waktu yang tepat." 

"Coba jelaskan, co." Pintanya. 

Gue sedikit memaparkan, bahwa tidak setiap hal yang terjadi dalam hidup itu bisa kita maknai secara subjektif, justru harus objektif. Seperti dia telat datang di waktu kesepakatan kalau gue berpikir subjektif, gue pasti bakalan marah-marah dan lain sebagainya. Tapi karena gue berpikir secara objektif yang artinya di luar kendali dan kuasa gue, ya udah biarin mungkin itu yang terbaik. Jadikan saja pelajaran. 

"Untuk lebih jelasnya baca di blog gue dah tentang, memaknai hidup dalam kecamataku, wa." Usul gue

"Siap." Jawabnya sambil senyum karena mungkin belum puas dengan jawaban gue. 

Setelah selesai shalat Ashar kami otw ke Alun-alun. Sebenarnya gue merasa canggung nggak bebas aja gitu ngobrol berdua dengan lawan jenis, kalau di kampus kan bebas. Sedangkan di masjid agung atau di alun-alun, gimana gitu. Dia meyakini gue semuanya akan baik-baik dan calm aja itu hanya pikiran gue. Yeah, gue sih nggak mau memperpanjang, ya udah.

Di Alun-alun ada banyak yang joging melihat kami bahkan ada santri yang secara terang-terangan memperhatikan kami, kayak gimana gitu. Gue sih bukan nggak nyaman, cuman gue mikir apa yah yang ada dipikiran mereka sampai setiap saat memperhatikan kami, padahal apa salahnya sih? Toh yang lain juga pada joging berduaan. 

Gue lihat sekitar ada batu, tadinya gue mau lempar haha, konyol emang. Tapi gue nggak lakukan biarlah mereka sibuk dengan pikiran sendiri, toh lagian point-point pertanyaan masih banyak. 

"Kita bengong dulu, co. Asyik! Tahu bengong kayak begini." Kata Najwa, gue sih iya aja.

Dalam diam itu gue memperhatikan orang yang joging yang sedang memperhatikan kami. Tiba-tiba ada jokes di pikiran gue yang membuat gue ingin ketawa, mungkin dalam pikiran mereka gini, bisa-bisanya supir angkot berbincang sama cewek cantik haha. Dan yang satunya lagi mungkin mikir, bisa-bisanya yah tukang parkir berbincang dengan cewek cantik haha. 

"Gue mau nanya satu hal, hal apa yang pernah elo alami sampai elo terbentuk menjadi pribadi sekarang?" Tanya Najwa tiba-tiba. 

Gue kaget mendengar hal itu, tentunya banyak cuman kan mana mungkin gue sampaikan semua, toh point-point wawancara aja belum kelar dia malah memberi ruang buat gue ngomong, gantian katanya. Anjay. Gue sedikit menyampaikan karena dikejar waktu bahaya aja gitu kalau  panjang-panjang bisa-bisa wawancara nggak bakalan kelar sampai point inti. 

"Harusnya elo wawancara ada timbal balik biar ngalir. Kalau dari gue aja kan terkesan gue harus menyampaikan terbaik." Saran darinya yang merasa dari tadi tersudutkan. 

Gue ngakak mendengar hal itu dan berterima kasih atas sarannya. Benar juga yah dia merasa tersudutkan harusnya gue bisa menempatkan kapan nanya kapan gue bicara juga. Sebenarnya ada alasan khusus kenapa gue tidak menggunakan obrolan timbal-balik, waktunya doang mepet nggak bakalan cukup. 

"Gue aneh kenapa yah kalau kita ngobrol waktunya kayak bentar aja gitu, nggak cukup. Selalu ingin lanjut dan lanjut." Ucap gue yang waktu itu merasa bingung.

"Yeah, gue juga sama, kenapa yah. Kapan kita merasa puas ngobrol." Katanya yang juga merasa demikian.

"Mungkin lain kali, wa."

"Yeah." 

Kemudian bengong lagi memperhatikan sekitar. 

"Apa yang elo rasakan hidup di dunia ini, wa?" Tanya gue ke point selanjutnya. 

Dia menjawab panjang lebar, dalam proses ini gue menggunakan metode obrolan timb balik yeah mengalir banget, minusnya waktu kayak cepat banget muter, biarlah. Kami sepakat yang dirasakan di hidup ini adalah bahwa banyak orang-orang yang belum selesai dengan dirinya sendiri sehingga menghambat kehidupan orang lain, dan parahnya adalah membuat masalah kecil menjadi besar. 

Solusi untuk mengatasi hal itu adalah dengan kesadaran diri karena dengan begitu dia bisa memilih mana yang terbaik mana yang tidak harus dilakukan. Tanpa bertentangan dengan norma yang berlaku. 

Gue sebenarnya merasa sangat senang karena eksperiment gue selama ini berhasil lagi. Najwa tumbuh menjadi seseorang yang gue pikirkan, cuman ada beberapa hal kekurangan yang tentunya sedang dalam proses perbaikan. Nggak apa-apa yang penting setiap hari ada perkembangan dari pada buru-buru, tapi satu gebrakan doang. 

Dia akhir sesi gue dikejutkan dengan pemikiran dia yang sudah masuk ke fase mem-filosifi yang dia lihat. Contohnya kemarin dia kan nggak suka Baso Goreng tapi entah ada angin mana dia beli rasanya enak. Besoknya dia beli lagi dengan harapan bakal enak bahkan wadahnya sudah dipersiapkan, berkualias gitu. Setelah di makan tidak enak, biasa aja dibandingankan dengan yang kemarin. 

Filosofi yang dia simpulkan adalah dalam pandangan romansa, bahwa tidak setiap orang baru pemenangnya dan tidak setiap orang lama juga pemenangnya kedua-duanya memiliki kesamaan. Yang gue tangkap adalah, semuanya memiliki kelebihan dan kekurangan, kembali kepada komitmen masing-masing. 

Soal ini kami sepakat bahwa harus dikembangin lagi, entah kapan. Karena waktu menunjukkan semakin malam, waktunya shalat Maghrib. Saking asyiknya berbincang, barusan aja gue lupa satu hal memberikan hadiah beng-beng sebagai bentuk mengapresiasi dan menghargainya karena sudah mau meluangkan waktu mengajari gue perihal kehidupan. Lain kali aja dah.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement