“Bapak sudah pergi dengan damai, jangan menangis! Kita harus ikhlaskan
kepergiannya.” Ucap Ibu, ketika melihat kondisi Bapak yang sudah berdaya.
Gue hanya terdiam bisu, menganalisis situasi yang terjadi. Apakah ini
hanya mimpi? Tanya gue kepada diri sendiri, sambil melihat Ibu tetap teguh
kepada prinsipnya untuk tidak menangis, meskipun itu hanya pura-pura. Di
beberapa menit kemudian barulah gue sadar, bahwa ini memang nyata. La Haula
Wala Kuwwata Illa Billah.
Setiap ada pertemuan pasti akan ada perpisahan. Yang kita miliki sekarang
baik berupa harta, tahta bahkan benda semuanya akan tiada, karena hakikatnya
bersifat sempurna. Kita saja yang terlalu menggembor-gembor diri mengakui
keberadaannya, sampai lupa akan firman-firman yang telah dibawakan oleh utusan-Nya.
Tepat pada tanggal 10 Januari 2024, gue mengalami peristiwa itu. Yeah,
Bapak pergi menghadap ilahi tanpa ada kompromi. Jujur dah, setelah kepergiannya
gue memandang dunia itu berbeda sekali, dan bahkan gue belum membuka diri untuk
menulis tentangnya. Bukan karena nggak bisa, tapi gue berpikir nanti saja,
setelah gue benar-benar melepas dengan damai. Berikut gue ceritakan kronologinya
dalam perspektif gue sendiri.
Pada malam hari, seperti biasa gue dan Abang gue sedang sibuk belajar
masing-masing. Abang gue sedang fokus menulis untuk di posting di Blog. Sedangkan
gue sedang sibuk merencanakan planning belajar di mode liburan semester, sambil
iseng-iseng membaca buku Connect The Dots karya dari Helmi Yahya. Pikiran gue
mulai dihiasi oleh peran seorang Bapak, ketika penulis menceritakan perjalanan
menuju sukses berkat arahannya.
“Ouh, jadi peran Bapak penting juga yah untuk kesuksesan Anak, bukan hanya
Ibu aja. Dibalik didikan dari seorang Bapak yang keras, ternyata itu dapat
menjadi racikan dalam menjalani hidup.” Ucap gue menjelaskan pada diri sendiri.
Pikiran gue mulai dipenuhi beberapa inspirasi untuk menerapkan
pembelajaran mandiri, agar tetap produktif di waktu libur semester. Tiba-tiba
dari ruang Dapur, Bapak berlari ke arah kami sambil memegang kakinya.
“Bantu Bapak! Bantu Bapak!” Pintanya kepada Abang gue, dengan raut muka
yang campur aduk.
“Syim, doakan Bapak yah! Jangan lupa doakan Bapak yah!” Pintanya kepada
gue.
“Bangunkan Ibu segera!” Pinta Bapak kepada kami,
Setelah Ibu hadir, langsung membantu mengeroki tubuh Bapak yang cukup
besar itu. Gue mengerok di bagian betis kaki. Ketika dalam proses mengerok
itulah, tanpa kami sadari Bapak mengatakan kalimat-kalimat perpisahan seperti:
“Sia-sia dikeroki seluruh tubuh, doakan saja.”
“Pijit saja dibagian betis kaki, sambil membaca lafadz Laaila Hailallah.
Biar cepat segera keluar.”
“Ini semua akan berakhir.”
Sambil berkata seperti itu, mulutnya tak henti-henti berdzikir kepada-Nya.
Yeah, Bapak memang sangat rajin berzikir, katanya sih biar tidak sia-sia aja
hidup. Dan ternyata itu adalah akhir di mana Bapak akan pergi untuk
selam-lamanya. Tidak ada sesi sakaratul maut, semuanya begitu cepat. Gue
teringat apa yang sering disampaikan Bapak kepada kami, bahwa Ia ingin
meninggal dengan tenang tanpa merepotkan orang-orang sekitar. Apa yang disampaikannya
itu, kini menjadi sebuah kenyataan. Allahummagfirlahu Warhahamhu Waafihi Wa’fu
anhu… Alfatihah.
Apa yang gue rasakan ketika menyadari bahwa Bapak pergi?
Gue merasa seperti bangun dari mimpi. Hidup yang gue jalani
sebelum-sebelumnya, seperti di dalam mimpi. Makannya gue hanya diam saja, cuman
pikiran gue yang ramai. Ada beberapa misteri yang hadir menyapa pikiran gue
pada saat itu. Pertama, mungkin inilah manfaat gue puasa sosmed selama seharian,
agar ketika peristiwa ini terjadi, mental gue tetap stabil. Kedua, sebelumnya
gue secara tiba-tiba ikut healing ke Curug Leuwi Bumi bersama rekan-rekan PII, mungkin
itu tanda agar gue merasakan bahagia dulu, dan setelah adanya peristiwa ini gue
harus lapang dada menerima.
Selain dari dua misteri itu, ada lagi sebenarnya. Cuman menurut analisis
gue pribadi itu adalah bentuk dari keterlibatan gue untuk mempersiapkan diri,
memulai hidup baru melewati berbagai gelombang-gelombang masalah, sampai
akhirnya setelah satu Tahun full berlayar sampai hilang arah, gue menemukan pelabuhan
untuk singgah sebentar sambil mengumpulkan bahan bakar dan lain sebagainya. Gue
percaya, bahwa semua ini sudah diskenariokan oleh-Nya dengan sebaik-baiknya.
Gue teringat beberapa nasihat yang sering Bapak sampaikan kepada kami,
diantaranya:
“Jangan bahagia-bahagian saja, karena itu akan membuat lupa kepada Tuhan. Dawamkan
dzikir.”
“Dari pada melamun memikirkan yang lain, gunakanlah waktu dengan berdzikir,
biar ada manfaatnya.”
“Bapak malu bila mempunyai anak yang ‘bodoh’ tentang agama dan ilmu pengetahuan.
Senangkanlah hati untuk terus belajar,”
“Utamakanlah jujur dalam situasi apa pun.”
“Yakinkan diri kepada Tuhan dalam situasi apa pun, agar kita tidak mudah
terdistraksi oleh hal-hal yang tidak penting.”
“Perkaya wawasan dan pengalaman, apalagi seorang lelaki. Karena kelak kita
akan menjadi kepala keluarga.”
Dan ada satu nasihat yang disampaikan olehnya kepada gue, se-Minggu
sebelum pergi selama-lamanya, yaitu soal ilmu Shalat. Jadi Bapak gue tuh diam-diam
sering memperhatikan anaknya ketika sedang shalat di Masjid, biar kalo ada yang
salah, langsung dikasih paham. Kebetulan gue ada kesalahan, yang tentunya gue
menyadari bahwa itu salah. Setelah mengasih paham, Bapak gue bilang:
“Koreksi Shalatmu lagi, selain dari yang Bapak sampaikan. Jika ada
kesalahan, inisiatif cari sendiri. Banyak kok panduan-panduan Shalat yang
ringan dibaca. Yeah, jangan menjadi bodoh pengetahuan di era sekarang.”
Sebenarnya gue cukup terkejut ketika mendengar penuturannya yang halus
tapi tajam begitu, tidak seperti biasanya. Eh, ternyata itu adalah nasihat
terakhir yang dapat gue dengar darinya secara langsung. Nasihat yang satu ini
sering gue gunakan untuk mencambuk diri agar terus berproses memperbaiki diri.
Pasca Bapak meninggal, Abang gue mempunyai ide untuk membuat buku tentang Bapak
dari perspektif anak-anaknya. Yaitu, untuk mengenang kepergiannya. Tetapi Qodarullah,
belum terlaksana karena ada beberapa kendala. Terutama dari gue sendiri,
seolah-olah menutup diri dulu untuk mendamaikan hati, tidak menulis tentang
Bapak. Biarkan berkeliaran dulu di Kepala sampai semuanya sepakat untuk reda,
lalu baru dijadikan karya tulis. Elo tahu berapa lama gue menutup diri itu?
Satu tahun cuy! Dan yeah, inilah tulisannya. Makannya sambil mengetik tulisan
ini, gue membuka memori ingatan yang berkeliaran untuk dikendalikan. Waktu satu
tahun gue pikir cukuplah untuk berdamai dan melanjutkan hidup tanpa dibebani oleh
pikiran-pikiran tentangnya.
Sikap yang dapat gue pelajari dari Bapak ada beberapa, cuman gue spill dua
aja dah. Pertama adalah rasa ingin tahu. Ketika gue misalnya menyampaikan
pengetahuan baru kepada Bapak, wih antusias banget dengerinnya. Seolah-olah,
itu ilmu yang paling berharga banget, padahal gue menjelaskannya asal-asalah
loh, yeah maksudnya sesuai pemahaman gue terhadap apa yang disampaikan itu. Di
situ gue belajar, ternyata penting juga kita mempunyai sikap rasa ingin tahu
terhadap sesuatu, tentu dengan kadar yang normal, toh terlalu berlebihan itu
tidak baik.
Kedua, sikap santai dalam menghadapi segala situasi genting. Oh yah, dalam
hal ini gue terigat dengan apa yang disampaikan oleh Richard Clarson di
pengantar bukunya berjudul ‘Jangan jadikan masalah kecil menjadi besar’ Bahwa,
masalah yang kita hadapi sekarang adalah masalah kecil, dan setiap ada masalah
pasti ada solusinya. Artinya apa? Santai aja menghadapinya, dinginkan dulu
pikiran, anggap saja itu masalah biasa agar tubuh kita merespon semuanya
baik-baik saja.
Yeah, itulah sekilas tentang Bapak gue yang sudah pergi tanpa pernah kembali. Meskipun kepergiannya membuat gue hilang arah, bahkan guncangan-guncangan hebat, semuanya berdampak besar bagi perkembangan diri gue dalam menilai sesuatu secara bijak. Dan dengar kesadaran penuh, gue meyakini bahwa bertahannya dari semua itu berkat bantuan dan kasih sayang-Nya. La Haula Wala Kuwwata Illa Billah.
Pandeglang, 10 – Januari – 2025
0 Komentar