Disorganisasi Menjaga Diri Dalam Persepektif Patologi sosial

Sumber foto hasil screen shoot
Antara Masalah sosial dan Patologi sosial keduanya mempunyai kesamaan, tetapi bentuknya berbeda. Dewasa ini, dapat kita saksikan disorganisasi dari mulai kecil sampai terbesar mengalami perubahan. Seperti yang berada di Vidio ini dulu definisi menjaga diri dari hal-hal yang bukan mahram itu normal, sekarang bergeser menjadi abnormal.

Dari berbagai komentar ada beberapa yang mengatakan bahwa tindakan ini lebay, alay, dan lain sebagainya. Bagi mereka persepektifnya seperti itu, sebaliknya dari persepektif yang lain tidak. Inilah letak di mana patologi sosial diperlukan untuk menganalisis posisi kita berada di mana? Apakah di persepektif agama? persepektif sosial? Atau persepektif hukum? Terlepas dari semua itu, Ya Tuhan sisakan satu aja perempuan yang seperti ini untuk menjadi teman hidup wkwk.

Menurut Kartono (2005) dalam Yunike Sulistyosari dan Fatwa Nur’aini (2024) Bahwa patologi sosial berupa tingkah laku yang bertolak belakang dengan norma-norma, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral, hak milik, solidaritas keluarga, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan hukum formal. Hal-hal yang tidak sesuai dengan kaidah norma di masyarakat menjadi sebuah penyakit sosial sebagai acuan dalam konstruksi sosial.

Sederhananya patologi sosial itu adanya pertentangan antar persepektif karena dampak dari perubahan sosial di masyarakat. Hal-hal yang awalnya normal, bisa berubah menjadi abnormal. Sebaliknya hal-hal yang bersifat abnormal, bisa berubah menjadi normal.

Contohnya dari Vidio yang gue dapatkan dari akun instagram bangga menjadi muslim, memperlihatkan dua pasangan yang sudah selesai akad, si cowok mau memasukkan cincin ke jari si cewek, nah karena si ceweknya jarang atau belum pernah dipegang tangannya oleh cowok selain Ayahnya, jadi malu-malu cuy, yeah begitulah.

Gue teringat dengan apa yang disampaikan oleh Dosen waktu di kelas, katanya kita kadang menilai realitas sosial seperti disintegrasi atau disorganisasi, dalam hati mengatakan tindakan itu tidak baik, tetapi ketika ditanya persepektifnya dari berbagai posisi, kita mau berdiri di mana? Eh, bingung.

Contohnya kasus gay, lesbian dan lain sebagainya, kita sepakat bahwa dari persepektif agama, persefektif hukum, dan persefektif sosial menyatakan bahwa tindakan itu tidak baik. Tetapi, apa upaya kita untuk memberantas hal itu terjadi? Kalau kita tidak mempunyai sikap di mana berdirinya apakah di persefektif agama, hukum, dan sosial, berarti memberikan mereka ruang untuk memperluas akses,  dampaknya adalah kasus ini yang tadinya abnormal di masyarakat, berubah menjadi normal.

Oh yah, uniknya dari patologi sosial adalah kita harus menganalisis dulu topik yang kita bahas dari berbagai persepektif, baru disimpulkan apakah ini ranahnya ke masalah sosial serius untuk segera diatasi atau hanya kesalahpahaman doang.

Seperti kasus gay, apakah di negara eropa seperti jerman, inggris, polandia, itu normal? Yeah, tentu. Tetapi, apakah persepektif di Indonesia, apakah itu normal? Tentu tidak, karena tindakan seperti itu masih bersifat abnormal. Hal-hal seperti inilah yang seharusnya  perlu dikaji agar bisa bijak dalam bersikap.

Selain dari video yang di atas, dapat kita saksikan fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, nilai-nilai untuk menjaga diri dari hal-hal yang bukan mahram atau sejenisnya mulai terkikis, tergantikan oleh orang-orang yang narsis ugal-ugalan hanya demi eksis.

Dulu, kita melihat orang-orang yang menjaga diri itu biasa, sekarang begitu langka. Sampai ada yang menilai soal video ini adalah definisi wanita yang menjaga dirinya, bukti orang tua sukses mendidik anaknya dan lain sebagainya.

Akhir kata, semua orang mempunyai persepektifnya masing-masing terhadap sesuatu hal, maka dari itu kita perlu menganalisis terlebih dahulu perbedaan persefektif itu, sebelum menyimpulkannya

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement