Nuut! Nuut! Nuut!
Gue terbangun oleh suara telpon dari seseorang, tadinya gue biarin dulu, masih ngantuk. Tapi kembali hp itu berdering memaksa gue buat segera mengangkatnya.
"Hallo! Kak." Sapa seseorang di luar sana yang ternyata teman organisasi.
"Yeah, ada apa?" Tanya gue to the point.
"Hari ini masuk kerja nggak, kak?"
"Kebetulan libur nih."
"Mantap, gas yuk! Ke curug leuwi bumi sama kak ikhsan." Ajaknya dengan antusias.
Gue mikir sejenak, agenda gue hari ini belajar dan menulis, kalau sempat otw ke perpusda pandeglang, gimana yah? Ya udah, gas aja dah.
"Yuk! Gas." Jawab gue mantap.
"Siap-siap aja kak, nanti kami otw." Lalu telpon mati.
Gue nggak kaget dengan ajakan yang ngedadak ini, yeah mungkin udah biasa di dunia organisasi, apa pun kendalanya atau kesempatannya selama itu bermanfaat. Gue memang sudah lama tidak memberikan hak kepada diri sendiri buat liburan, setelah lama menanti waktu yang tepat, eh, tiba-tiba dia mendekat, ya gas aja dah.
Kami berangkat jam sepuluh lewat, gue nebeng di motor ketum firdaus. Tiba-tiba diperjalanan mati ngedadak, etdah. Setelah diperiksa, businya harus diganti. Kami sudah keliling mencari bengkel buat mengganti busi susahnya minta ampun karena busi buat ukuran motor supra beda bat dah.
Mengalami hal ini kami hanya bersikap santai, yeah nanti juga ada jalannya, jadi jalani aja. Ketika kami sudah berusaha dari bengkel satu ke bengkel yang lain, bantuan dari Tuhan akhirnya datang, ada orang baik yang membantu. Dia rela membelikan busi di tempat lain sekaligus memasang karena di bengekelnya nggak ada, ya udah kami terima.
Jalanan mandalawangi membuat kami nostalgia ketika dulu tahun 2022 menyelenggarakan LBT dan LIT, itu adalah acara yang memeras mental, pikiran, tenaga, waktu dan lain-lain. Berkesan bat dah.
Semakin masuk ke tempat tujuan, jalanan sangat terjal, berbatu, nggak layak bat dah dipakai kayak zaman tentara VOC gitu haha.
"Di jalanan berbatu kayak gini, bayangin aja naik motor KLX." Ucap teman gue menganggap jalanan sebagai objek candaan.
Gue kira wisatanya dekat dengan kampung, ternyata masuk ke dalam lagi, bahkan dalam banget dah... kayak rasa suka ini sama si dia haha. Mana jalannya licin banget kayak Mama lemon sekali bilas motor melayang wkwk.
Pas di pos masuk untuk mengambil karcis, si Ibu penjaga sedikit cerita perihal curug. Bahwa dulunya itu rawa, seram bat dah. Tapi setelah itu ada warga sekitar yang mengajukan kepada seseorang buat dijadikan objek wisata, di situlah mulai dibangun dengan proses yang cukup lama.
"Emang berdirinya tahun berapa, Bu?" Tanya teman gue yang penasaran.
"Yeah, tahun 2015."
"Buset dah, lama juga."
"Bupati Pandeglang apakah sudah ke sini, Bu?"
"Hm... udah tahun 2017, tapi yeah begitulah jalan masih nggak di bangun-bangun." Kata si Ibu sambil tersenyum.
Yeah, jalanan memang begitu hancur, padahal posisinya hanya beberapa kilo dari kantor pemerintahan Daerah, gue mikirnya gini, apalagi yang daerah selatan, apa kabar jalanannya? Entahlah.
"Ini masih jauh Bu, ke tempat wisata?"
"Sekitar 400 meter. Jalan aja nanti juga datang."
"Siap."
Jarak 400 meter, kalau jalannya datar itu nggak masalah, nah ini ke bawah banget kayak mau main 'serosotan' tapi biarlah untuk mendapatkan yang indah nan cantik itu perlu perjuangan.
Ketika kami sampai di tempat tujuan, buset dah mempesona banget. Pas lewat jembatan juga gue mau langsung loncat, iyah loncat jadi wakil presiden atas bantuan Mk hahaha anjay juga. Sebaiknya jangan gegabah dah.
"Jangan loncat ke bawah jembatan, itu kedalamannya 13 meter. Kecuali pakai baju pelampung." Kata teman gue setelah mencari informasi tempat mana saja yang relatif aman.
Gue yang sejak awal ingin lompat ke sana bergidik ngeri, buset dah 13 meter lebih baik gue pulang, diperjalanan beli baso plus mie ayam, soalnya enak haha.
"Yuk! Gas berenang ke tempat sana yang kedalamannya relatif aman."
Sudah lama sekali gue nggak berenang, terakhir mungkin pas masih sekolah. Jadi gue langsung gas dari yang kedalamannya satu meter ke tiga meter lalu tenggelam, yeah gue tenggelam. Kaki gue nggak berpijak, pikiran gue buntu mencari solusi, nafas gue ngos-ngosan, tangan gue lambai-lambaikan minta bantuan, teman-teman gue di seberang malah ngakak ketawa girang, lah dikira gue nge-prank.
Tuhan! Bantu gue.
Dalam situasi genting, gue kerahkan semua tenaga buat berenang gayak katak, hasilnya selamat sampai ke tepian.
"Tadi kami udah bilang, yang kita pijak ini kedalamannya satu meter, sedangkan yang sana tadi tiga meter, makannya hati-hati dah." Semprot teman gue.
"Lah, bukannya pada bantuin gue, elo pada ngakak girang parah dah."
"Gue kira elo nge-prank kan bisa berenang."
"Yeah, begitulah." Jawab gue singkat.
Kami pun ketawa ngakak, yeah buat gue itu peristiwa yang lucu bat buat diketawain, bahkan gue nulis itu sekarang sambil ngakak. Iyah, ngakak dengan keputusan MK haha. Sesi selanjutnya dihabiskan dengan foto-foto buat kenangan katanya.
Jam tiga kami selesai berenang, saatnya sesi nyantai-nyantai. Gue gunakan waktu luang itu buat wawancara Ari dan Firdaus soal memaknai hidup dalam kecamata mereka, sambil mentadaburi wisata yang menakjubkan ini.
Ada beberapa hal yang gue dapat setelah tadabur Wisata Curug Leuwi Bumi diantaranya:
1. Tetap Tenang
Teman gue si Ari bilang, kalau gue tadi berada di posisi mau tenggelam bersikap tenang, pasti akan selamat. Tapi karena gue panik akhirnya kemampuan berenang sia-sia. Begitu juga dalam menyikapi hidup, dalam beberapa bagian mungkin gue sudah bisa tenang, bagian lainnya belum sama sekali. Dan itu harus dipelajari dengan cara berproses belajar dalam setiap aspek. Karena tenang termasuk salah satu kunci kesuksesan.
2. Pelajari sebelum beraksi
Bayangin dah tanpa tahu informasi dan arahan dari penjaga wisata, gue langsung loncat ke bawah jembatan yang kedalamannya 13 meter tanpa memakai baju pelampung. Apa yang terjadi? Sudah dipastikan gue bakalan tenggelam dan meninggoy. Hih, membayangkan aja udah ngeri gue.
Alam di sana mengajari gue buat mempelajari dulu sebelum beraksi melakukan sesuatu. Jangan asal gerak ujung-ujungnya bermasalah. Mungkin dari beberapa hidup gue berapa banyak hal-hal menyakitkan terasa sakit sekali karena kebodohan gue yang tidak mempelajari dulu mengapa gue harus merasakan sakit? Dan mungkin berapa banyak aksi yang gue lakukan itu percuma karena tidak mempelajari dulu. Yeah, begitulah.
3. Dibalik keindahan tersimpan bahaya yang mencekam
Dibawah pancuran air itu kedalamannya adalah tiga meter, dan kalau kita berenang air di sana itu berputar jadi harus hati-hati dengan memakai baju pelampung. Bayangkan, kalau gue yang nggak tahu apa-apa langsung loncat dengan alasan airnya juga tenang nggak bakalan bahaya, kenyatannya nggak gitu. Itulah keindahan, dibaliknya tersimpan bahaya yang mencekam nyawa bila tidak bisa berenang.
Di dalam hidup juga sama, berenang itu bisa diartikan pengetahuan, pengalaman dan keberanian. Toh, percuma misalnya kita bisa berenang bahkan dibantu dengan baju pelampung, kalau tidak ada keberanian. Masalahnya adalah, sudah sebanyak apa pengetahuan, pengalaman dan keberanian kita? Kok malah santai-santai aja dalam wisata kehidupan.
Ibaratnya begini, gue kalau datang aja ke wisata itu tidak berenang karena takut tenggelam, gue bakalan puas nggak? Pasti nggak dong dan sayangnya nggak bakalan dapat apa-apa dari kehidupan dibandingkan orang lain yang berenang. Itu artinya apa, mungkin dalam wisata hidup kita sering merasa nggak merasa puas lahir dan batin karena kurangnya berani mencari hal-hal baru, seru, yang akan memudahkan kita dalam menjalani kehidupan. Nggak stak di situ aja.
4. Hidup tidak bisa sendirian
Manusia adalah makhluk sosial, nggak bisa hidup sendirian. Gue anggap, baju pelampung itu adalah kontribusi orang-orang terhadap hidup kita. Pernah nggak sih sekelebat kita kepikiran bahwa bisa hidup itu salah satunya karena adanya kontribusi orang lain, bukan apa-apa sendiri? Kalau pernah, Alhamdulillah bila belum, berpikirlah.
Mungkin nggak bakalan masalah bagi yang bisa berenang tanpa baju pelampung, tapi sekuat apa dia bertahan? Pastinya butuh pegangan dulu sebentar buat menenangkan pernafasan. Kecuali yang udah pro. Iyah, yang pro sama keputusan MK haha. Maksudnya kecuali yang pro banget berenangnya.
Bagi orang-orang yang tidak berenang baju pelampungan itu kebutuhan banget, karena dengan begitu bisa menikmati wisata hidup. Kedua-duanya memiliki kekemampuannya masing-masing dan dapat saling membantu bila si orang yang berenang nggak kuat ke tepian, atau orang yang bisa berenang membantu bila orang yang memakai baju pelampung panik dengan cara menenangkan semuanya akan baik-baik aja. Ini dalam konteks keterhubungan antar manusia.
Kalau dalam konteks agama, pelampung itu bisa diartikan penyelamat dari kehidupan yang inginnya bebas. Agama hadir di situ buat mengatur dan menjaga agar tidak ada yang salah jalan atau tenggelam, dengan cara dibekali pengetahuan-pengetahuan.
5. Menjadi bermanfaat perlu proses yang panjang
Dulu menurut si Ibu penjaga karcis, Curug ini rawa yang pastinya bakalan mengundang bahaya. Tapi karena dibangun dengan proses yang cukup panjang, akhirnya bisa bermanfaat untuk semuanya menikmati betapa indahnya ciptaan Tuhan. Coba kalau nggak di bangun, mungkin nggak ada harganya dan nggak bakalan melahirkan manfaat.
Begitu juga dengan diri kita, mungkin tidak bermanfaat maksimal karena perlu usaha dengan cara terus berproses yang panjang, nggak instant. Kadang kita minder melihat orang-orang yang hidupnya berharga banget, padahal sebenarnya kita juga bisa bila mau berproses, tentu kesuksesan masing-masing.
6. Hidup banyak liku-likunya
Aliran air memiliki ke dalamannya masing-masing dan hambatannya masing-masing. Tidak rata semua. Di beberapa bagian air ada batu-batu besar dan bahkan nggak ada sama sekali, setiap tempat berbeda-beda. Itu yang membuat air terpisah, hebatnya mereka bisa damai bersatu lagi tanpa merasa asing. Dan batu yang menjadi penghalang itu menjadi temannya untuk menampilkan keunikkan tempatnya.
Begitu juga dengan hidup, liku-likunya banyak. Meskipun memang gue nggak munafik menerimanya itu nggak se-mudah membalikkan telapak tangan. Bila kita menikmati liku-liku ini bahkan mempelajari arti dibalik itu maka kita akan menjadi seperti air itu dan liku-liku itu akan ikut memancarkan keunikkannya sendiri.
7. Awali segala hal apa pun dengan niat belajar
Gue pagi-pagi di telpone buat liburan, ngedadak banget kan. Sedangkan posisi gue sudah punya agenda buat belajar full di rumah. Tapi karena gue diberi kesempatan buat ikut liburan dengan niat belajar tiba-tiba di sana secara gue tidak sadari bahkan tidak terpikirkan, mentadaburi alam. Yeah, gue bersyukur bisa datang ke Curug itu karena memberi memberi pelajaran kepada gue akan kehidupan, pun kepada teman-teman yang sudah mengajak plus men-traktir full perjalanan wkwk. Terutama bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan kesempatan ini.
Jujur gue merasa malu Tuhan begitu baik memberi pelajaran kali ini lewat alam, padahal di episode hidup gue sebelum-sebelumnya sudah beberapa banyak alternatif-alternatif pelajaran diberikan kepada gue. Cuman, yeah gue malas berpikir dan mesyukurinya.
Itu yang gue dapat, meskipun masih banyak. Harusnya memang nginep biar tadabburnya dapat banyak. Entah kenapa gue ada keinginan buat kembali ke sini tadabbur, entah bersama keluarga kecil gue nanti, atau bersama teman, si dia, dan patner gue. Cocok aja buat berbincang-bincang perihal kehidupan.
0 Komentar