Pergi saja engkau pergi dariku
Biar kubunuh perasaan untukmu
Meski berat melangkah
Hatiku hanya tak siap terluka
Beri kisah kita sedikit waktu...
Lagu di waktu yang salah, secara perlahan dan mendayu terdengar di luar sana, gue yang sedang mikir keras untuk menjawab soal UAS tiba-tiba buyar. Pikiran gue traveling mencari jejak lagu tersebut lahir karena hal apa? Siapa penciptanya? Dan lain sebagainya. Sayup-sayup lagu itu kembali hadir, menurut psikologi cara memutus keenakan mendengar lagu adalah dengan cara mengikuti menyanyi, its okay gue pun menyanyi diam-diam.
"Woy, Co! Konyol bat dah orang-orang pada sibuk ngerjain soal UAS, elo santai-santai nyanyi." Semprot Yasya, etdah gue ketangkap basah.
"Calm Sya."
"Jancook lo, Co."
Gue diam nggak balas, orang-orang emang aneh di saat diberi ujian sibuknya ngerjain bukan main, padahal santai aja dah. Bukankah setiap hari kita menghadapi ujian? Entahlah.
Beri kisah kita sedikit waktu
Lirikan lagu itu berhasil mencuri perhatian gue untuk dibedah. Pikiran gue ramai dengan berbagai pertanyaan mengenai hal ini. Berarti mengikhlaskan seseorang itu butuh sedikit waktu dong? Wajar dong kalo untuk sementara kita tidak menerima kepergiannya? Yeah seramai itulah.
Ada lirikkan yang menurut gue konyol, pas bagian Biar kubunuh perasaan untukmu. Maksud gue, kenapa harus dibunuh kalau bisa berdamai? Dan kenapa harus dibunuh kalau masih cinta? Kan kasihan si cintanya tahu bakalan dibunuh.
Logikanya begini, orang yang akan dibunuh pasti mengalami ketakutan kan? Begitulah dengan cinta, dia tahu bakalan dibunuh maka dia cari cara agar tidak dibunuh dengan berkolaborasi sama rindu dan kenangan. Makin hari hadir tuh memenuhi kepala, betapa bahagianya dulu, betapa manisnya senyumnya dan lain sebagainya.
Memikirkan akan hal ini gue ngakak sendiri. Pertama merasa konyol aja, di saat orang-orang sibuk ngerjain UAS gue sibuk sedikit membedah lagu. Kedua, lagu ini akan masuk ke daftar list yang akan dibedah bersama lagu yang lainnya, entah kapan waktunya. Nambah lagi aja dah tugas gue.
Hari ke lima puluh tiga, Antropologi pendidikan melaksanakan Ujian Akhir Semester secara Offline. Tidak seperti biasanya gue telat datang ke kelas, lumayan dah ada perubahan. Persiapan gue minim banget, orang-orang mungkin sudah baca-baca materinya jauh-jauh hari atau se-malam, lah gue lima belas menit sebelum dimulai baru baca tuh, konyol bat dah. Entah kenapa gue percaya diri aja gitu bisa mengisi soal-soal.
Pas ujian dimulai gue perhatikan yang lain pada nyari jawaban di goagle atau sejenisnya. Sebagian yang lainnya fokus mengerjakan sesuai apa dia ketahui. Sedangkan gue? Santai aja. Gue nanya ke yang lain, kenapa elo cari jawaban di goagle? Biar benar katanya. Yeah, gue nggak mempermasalahkan karena itu hak mereka.
Lagian yah, Dosen itu nggak ngelarang buka hp Co. Ditambah perhatiannya biasa aja, gue nggak tahu dah ini trik atau apa. Kelihatannya kayak bodo amat gitu. Siapa pun bila diberi kesempatan itu bakalan sembunyi-sembunyi cari kunci jawaban dong, mumpung ada celah.
Gue di saat itu bukan hanya mikir lagu yang dibedah tadi, tapi gue mempertanyakan kepada diri sendiri. Kenapa sih elo konyol bat dah, yang lain pada sibuk mencari jawaban, elo pede dengan jawaban sendiri? Kenapa sih, elo nggak menggunakan celah ini buat dijadikan kesempatan cari jawaban, padahal sudah dipastikan jawaban elo tuh bakalan ada yang salah? Kenapa Co? Lama gue mikir malah bingung, iya juga yah wong yang lain juga melakukannya.
Iblis : Mumpung ada kesempatan, Co. Kapan lagi elo cari jawaban.
Malaikat : Utamakan jujur, Co. Itu obat manjur buat elo sukses dah.
Iblis : Jangan terlalu pede dengan jawaban sendiri yang pasti salah. Elo tuh bukan pakar ilmuan, Co! Pikir dah. Jadi logikanya gimana mau menjawab soal ini. Ayolah! Sekali-kali nyontek kan dosa kecil.
Malaikat : Calm aja dah. Jujur itu harus menjadi prioritas, kalau kajur itu Bu Ila (Haha, apaan sih) belajar itu harus berani salah dan bertanggung jawab akan kesalahan itu. Lagian nilai itu tidak terlalu penting, yang terpenting adalah nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
Gue bingung mau pilih yah mana, etdah bisa-bisanya dilema. Ya udah pilih si dia aja dah wkwk.
(Foto tidak dapat ditampilkan saat kejadian).
Ada beberapa hal yang membuat gue pede aja tidak menjadikan celah sebagai kesempatan mencari jawaban, terserah dah benar atau nggaknya, ini hanya menurut kecamata gue. Diantaranya:
1. Jujur
Entah ini perpaduan dari keluarga, nasehat guru, lingkungan dan apa yang gue tonton menuntut buat jujur dalam berbagai hal, meskipun belum sepenuhnya gue lakukan sih, seperti halnya mengungkapkan perasaan kepada si dia wkwk. Perpaduan itu menjadi behavior kepada gue buat pede aja gitu apa adanya. Lebih baik jujur dari pada dapat nilai besar tapi tidak dari hasil mikir sendiri, begitulah kalimat yang keluar dari kepala gue.
Di Ta'lim Muta'lim yang membahas adab-adab pelajar itu menyatakan bahwa ciri seorang pelajar itu mempunyai karakter jujur dan rendah hati. Ini yang harus kita miliki, jujur. Gue sebebarnya lagi belajar menerapkan jujur ini dalam kehidupan sehari-hari. Lagian percuma ngaji adab-adab pelajar tapi tidak gue terapkan, apa bedanya orang yang belajar dengan yang tidak belajar kalau begitu.
Dalam perspektif psikologi orang yang jujur itu akan hidupnya tenang dan mudah bahagia. Mengapa? Karena tidak ada tekanan. Sok deh bohong, pasti hati nurani kita nolak, ujung-ujungnya nggak bakalan tenang kepikiran aja. Kalau kita berpikir secara objektif, beda rasanya dapat nilai hasil mikir sendiri, dengan mencari jawaban dari yang lain. Nggak ada kepuasan dan kebanggaan diri gitu. Gue sudah mengalami soalnya perihal ini, pas gue coba-coba beda juga.
2. Tantangan
Ujian itu adalah bentuk test dari Dosen terhadap mahasiswanya. Lain lagi dengan ujian dari si dia wkwk. Dalam kecamata gue, ujian itu sebagai tantangan yang seksi bat dah. Gue ibaratnya harus mengerahkan semua yang bisa gue lakukan untuk menjawab tantangan yang diberikan. Kalau gue berhasil, Alhamdulillah. Kalau gagal, ya udah belajar lagi, gue simpel mikirnya.
Dalam persepektif psikologi gue mamandangnya sih sebagai ajang percaya kepada diri sendiri bahwa kita bisa mengerjakan tanpa dibantu oleh orang-orang, karena ruang lingkupnya ujian, lain lagi di luar ini. Jadi pede dulu aja dah urusan nilai nanti bakalan jekek, kan tinggal remedial.
Bagaimana orang lain percaya sama kita, kalau kita sendiri tidak percaya sama diri sendiri.
Gue merasa kasihan sama teman-teman yang lain, kenapa tidak percaya sama diri sendiri. Padahal kita bakalan berkembang kalau diberi ruang buat bebas bereskpresi. Tantanglah diri buat bisa mengerjakan tugas tanpa terbebani oleh nilai ideal dapat sembilan puluh ke atas. Yeah, semoga gue konsisten dah dalam hal ini.
Ada kebahagian tersendiri yang gue rasakan ketika menaklukkan tantangan, meskipun gue akui hasilnya belum maksimal. Buat gue itu tidak masalah, yang penting gue sudah selangkah maju dari versi gue kemarin. So, rival gue diri sendiri yang kemarin bukan orang lain.
3. Peluang dan Kesempatan
Banyak orang-orang yang mencari jawab di goagle dan sejenisnya, salah satunya atas dasar takut dapat remedial. Dalam kecamata gue itu tuh peluang buat gue belajar lagi, nambah paham lagi terhadap materi tersebut. Karena memang untuk paham materi yang disampaikan dosen itu butuh proses berkepanjangan. Kecuali, orangnya benar-benar memiliki intelektual yang tinggi.
Dan juga kesempatan buat sadar diri, masa mau begini saja sih, tahun selanjutnya harus dipersiapkan awal-awal biar tidak terulangi lagi. Ini menurut gue positif dah kesempatan buat berkembang ada, kebanding kita tidak tahu jawaban alih-alih belajar lagi nanti setelah selesai ujian, ini malah cari jawaban. Logikanya begini, kapan kita berkembang? Kalau akses untuk berkembang di tutup lagi.
4. Tampil beda
Setiap manusia yang lahir ke dunia itu unik, begitulah kata mereka. Gue ingin tampil beda dari kebanyakan orang, karena sadar diri gitu, ganteng juga kagak, pintar kagak, berprestasi kagak, lantas ngapain ngikutin orang? Beda di sini dalam hal positif yah. Di saat orang lain sibuk mencari jawaban, gue sibuk mikirin persoalan hidup yang kian rumit dan banyak konyolnya gitu.
Mungkin itu dasar pemikiran gue yang memandang soal UAS kecil, tidak ada apa-apanya kebanding persoalan hidup. Lagian nilai UAS tidak menjadi patokan utama ipk kok. So, santai aja dah. Beda sedikit dari kebanyakan orang nggak bakalan ngaruh terhadap keseimbangan hidup. Justru bakalan melahirkan keseimbangan di hidup, meskipun jalannya terjal dan beresiko. Biarlah, lagian resiko emang nggak enak sih, yang enak itu royko sama masako haha.
Ujian mata kuliah kedua, landasan pendidikan diselenggarakan secara online, jawabannya sedikit bat dah. Yang gue amati dari kedua UAS di mata kuliah yang berbeda itu sederhana, mudah dipahami dan menurut apa yang kita ketahui, bukan menurut apa yang orang lain ketahui.
0 Komentar