Pendidikan Non Formal Awal Menuju Perubahan

Pertemuan pertama

"Mengapa memilih jurusan Pendidikan Non Formal?" Kata kating, kepada kami saat pertemuan awal mahasiwa baru.

Bermacam-macam jawaban bersileweren. Ada yang katanya akreditasi A, ke pilihnya di situ, dan bahkan terpaksa. Mendengar jawaban dari teman-teman yang lain, dalam hati gue iba. Kenapa? Karena tujuannya belum begitu mengakar. Padahal sudah sekelas mahasiswa, artinya, pola pikirnya harus berbeda dengan yang masih  SMA. Nah ini? Tidak ada perbedaan.

Tapi yeah, kita memang bebas berpendapat soal ini dari berbagai segi. Pro dan kontra itu pasti, yang terpenting alasannya itu apa. Alasan gue sih simpel, biar mahasiswa dan mahasiswi itu nggak banyak gaya tapi berisi kepalanya, bukan malah banyak gaya kosong isinya. Ini parah men.

Dari awal sebenarnya gue nggak minat sama jurusan non formal, soalnya gue nggak tahu dalamannya apa aja. Setelah gue perdalami sat-set-sat-set, eh, mulai suka. Elo tahu kenapa? Ada beberapa alasan sih. Diantaranya doktrin keluarga, organiasi, buku, dan lumayan unik.

 1.  Doktrin keluarga

      Di keluarga gue pendidikan itu nomor satu, entah itu agama atau umum, soal prestasinya belakangan. Nyokap dan bokap gue jarang marah kalau gue semalaman suntuk baca buku, palingan hanya berdehem (nyuruh tidur) sebaliknya, kalau melihat gue pegang hp, boro-boro dibiarin ini malah diancam. Padahal gue lagi baca buku pdf bukan chatan sama cewek atau nonton yang mantep-mantep. Karena kebebasan itulah, gue dan kakak-kakak gue yang lain pada suka pendidikan. Elo mungkin bisa tahu kenapa bisa demikian? Ya, ingin kebebasan.

Selain itu, kalau pas kumpulan di dapur, ruang tamu, kamar, nyokap sering nasehatin kami soal pendidikan. Dulu gue pernah sama bokap belanja di pasar, di perjalanan gue lihat ada orang yang jualan buku cerita-cerita teladan, eh, sama bokap di beli. Pas gue tanya kenapa dibeli, jawabannya hanya diam. Dalam hati gue mikir, mungkin bapak gue bilang (buat dibaca di rumah siapa tahu butuh nanti soalnya ini isinya nasehat-nasehat kehidupan) yeah begitulah. Padahal yang gue inginkan pada saat itu mainan spiderman. 

 2. Doktrin organisasi
 
      Organisasi adalah tempat kita berkembang biak, tapi pada kenyataanya boro-boro berkembang kalau anggota-angotonya mikirin diri sendiri melulu. Di suruh kumpulan, sok sibuk. Di nasehatin baik-baik, malah adu nasib. Yeah begitulah hal-hal yang gue alami. Gue ingin organisasi itu ada perubahan dan kontinyu bukan sekali gebrakan doang. Apalagi kegiatannya seremonial semua, siapa yang nggak bosan coba. 

Harusnya tuh organisasi siap bertindak menyelesaikan konflik. Urusan paceklik cari duit buat transportasi amankan duluan. Bukan setiap tampuk kepemimpinan baru, semuanya baru. Nggak gitu. Jalankan program lama yang dirasa bagus dan utamakan dulu sumber keuangan dari mana nanti. Bukan santai-santai, eh, menjilat wk.

Permasalahan inilah yang membuat gue jadi mikir, gimana yah biar organisasi kita bisa berdiri sendiri tanpa bermitra dulu. Bukan tak mau menjalin komunikasi dengan pihak lain, melainkan memantaskan dan menuntaskan dulu hal-hal dasar dalam organisasi tanpa bertumpu dari pihak yang lain. Setelah di rasa cukup, ya sat-set.

 3. Doktri buku

Awal gue milih pendidikan non formal sebenarnya nggak disangka-sangka karena asal pilih aja. Iseng-iseng gue searching kan (seperti yang gue ceritakan di atas) dan gue tautkan dengan buku-buku yang sedang dibaca. Yaitu, pendidikan kaum tertindas karya Paulo Freire, Nunci karya Euny Hong, dan Sebuah seni untuk bersikap bodo amat karya Mark Marson.

Apa bentuk keterkaitannya?

Pendidikan kaum tertindas membahas soal menindas dan ditindas, di mana menurut Paulo antara orang yang menindas dan ditindas dari dulu sampai sekarang masih berjalan.

Ibaratnya gini bro, elo korban ditindas terus orang yang menindas elo mati atau apalah. Aman dong elo wk. Harusnya setelah elo aman mulai memperbaiki diri bukan malah menindas. Dalam kecamata Paulo, orang yang ditindas setelah ditindas bukannya selesai, malah nambah korban lagi. Mengapa mereka melakukan hal itu? Karena mereka ingin bebas. Bekas ditindas mereka mikir, kalau gue nggak nindas orang, hidup gue bakal dikuasai orang, cari korban barulah.

Gue awalnya bingung, apa titik temu dari orang yang menindas dan ditindas ini biar berakhir bukan malah lahir terus. Setelah gue pikir-pikir, gue nambah bingung mikir wkwk. Soalnya mentok. 

Dalam kebingungan itulah, gue nanya ke kakak gue. Apa solusinya biar ada titik temu antara si penindas dan ditindas? Jawabannya, melalui pendidikan. Simpel banget bro gue nggak kepikiran ke sana padahal udah berhari-hari mencari jawaban. 

Dengan pendidikan orang-orang akan sadar arti kebebasan itu apa, dan cara berkuasa itu bukan pilihan yang tepat. Karena semua orang sudah tahu tupoksinya apa.

Selanjutnya dari buku Nunci. Elo sebelumnya udah dengar? (Nunci itu bukannya alat untuk menghidupkan motor yah? Wk) 

Nunci itu sederhananya sih peka kepada keadaan. Elo nggak akan melihat tanpa dapat apa-apa. Misalnya elo lihat lingkungan yang kurang baik, secara langsung otak elo bakal mikir, apa yang harus gue lakukan untuk merubah lingkungan ini? Bukan diam aja, apalagi diam. Diam. Diam-diam meninggalkan wk.

Atau elo lihat cewek cantik lewat bak bidadari, senyumnya indah menggetarkan hati, di situ lo mulai mendapatkan inspirasi  untuk menulis puisi, frosa, cerpen, novel, makalah dan skripsi itu bagus. Sebaliknya kalau nggak dapat apa-apa, sia-sia banget bro. 

Yeah, itulah Nunci. Pendidikan non formal itu kan titik fokusnya lebih ke luar Sekolah, ketika ada problem dalam masyarakat tinggal cari solusi dan beraksi, bukan sibuk berteori minim aksi.

Pertemuan kedua
Selanjutnya Buku seni bersikap bodo amat karya Mark Marson. Pembahasan buku ini lebih ke pembekalan diri untuk menyikapi sesuatu yang sedang terjadi di masyarakat. Dan ini ada keterkaitannya dengan pendidikan non formal, yaitu pembekalan diri.

Elo nggak bisa ujug-ujug datang ke tengah-tengah masyarakat menyelesaikan konflik yang dahyat tanpa ilmu. Bila elo maksain terjun, ya tenggelam bro. Soalnya belum tentu solusi yang dipaparkan betul-betul akurat.

Gue pernah nyobain dulu di organisasi, gerak ke sana ke mari dengan tajuk menyelesaikan konflik di masyarakat, ujung-ujungnya gue tenggelam. Hilang. Tersesat. Dan tak tahu arah jalan pulang, aku tanpa butiran debu wk. Mengapa bisa demikian? Kapasitas ilmu dan pengalaman gue belum memadai, akhirnya gerak kosong isinya.

Terakhir, alasan gue masuk jurusan pendidikan non formal karena unik bro. Bahkan unik banget euy. Elo tahu kan bedanya antara formal dan non formal? Atau antara aku dan kamu wkwk. Aku yah aku, kamu ya kamu. Jangan satu kan aku - kamu menjadi kita kalau belum mapan dalam mengemban tugas rumah tangga wkwk (mulai eror)

Formal itu sesuatu hal yang harus dan harus, tanpa nggak. Sedangkan non formal itu lebih ke selektif, elo mau ayo! Elo pergi hati-hati ibaratnya gitu. Atau, nggak harus sih, selama tidak membuat mental kurus wkwk.

Orang yang formal misalnya melihat cewek cantik, iya hanya palingan mikir formal doang, cuman 'cantik bat dah,' abis itu minta nomor wa. sedangkan non formal bisa bercabang-cabang mikirnya. Kenapa? Karena pemikirannya di atas orang normal. Yeah kayak berfilsafat.

Elo lihat mobil di jalan, mungkin bagi yang formal biasa aja. Tapi bagi non formal itu sesuatu hal yang harus digali tentangnya. Itulah yang membuat gue mikir, unik juga yah. Gue nggak di tuntut oleh aturan baku yang hanya itu-itu aja. Tapi gue bebas  bisa mengembangkannya sesuai yang gue mau, selagi ada manfaatnya.

Yeah, mungkin itulah alasan gue masuk jurusan ini. Gue nggak tahu setelah hari berganti, bulan berganti, tahun berganti, apakah pemikiran gue nambah dalam perihal jurusan ini, atau semakin dangkal karena alasan tertentu.

Wallahu'alam karena sebaik-baiknya ketetapan yang terbaik adalah dari-Nya.







Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement