Aktif di sosial media memang tidak masalah, tetapi itu kurang efektif. Ditakutkan adalah kita hanya vokal saja di dunia maya, pas dunia nyata, tumpul begitu saja. Apalagi ketika disuruh terjun ke lapangan, alih-alih ideal ini sebaliknya. Padahal, untuk dikatakan seorang aktivis itu harus berani mengambil resiko plus ideal antara di sosial media dan dunia nyata.
Malam tadi, ceritanya kami sengaja tidak naik angkot untuk pulang ketika beres acara Konda (Konferesi daerah) karena kami tidak mau. Hm ... Sebenarnya bukan tidak mau sih, tetapi hemat duit! Wkwkwk.
"Lelah nggak euy, jalan kayak begini?" tanya teman saya kepada kami.
"Lumayan sih."
"Ya, inilah yang disebut perjuangan. Susah dan senang itu sudah biasa dialami oleh seorang aktivis. Kita memang bukan seorang aktivis, sebab dengan diri sendiri saja belum selesai, apalagi dengan problem yang lain euy. Mungkin kita ini hanya sebatas merasakan, apa yang dialami oleh para aktivis jaman dulu." kata teman saya yang tadi bertanya.
Menanggapi hal tersebut, gue setuju. Mengapa? Karena untuk disebut seorang aktivis itu kita harus selesai dulu dengan diri kita sendiri.
Banyak orang-orang yang salah mengartikan definisi aktivis sebenarnya itu kayak gimana. Mereka hanya suka dengan label-nya, atau ingin terlihat cool disebut aktivis, lalu mulai mempromosikan diri.
Secara sederhana, arti aktivis itu adalah agen yang membawa perubahan. Baik itu perubahan yang kecil atau pun yang besar. Untuk disebut aktivis tersebut ada konsekuensinya, nggak sembarang pasang label-nya loh.
Diantaranya adalah berani mengambil resiko. Dan untuk berani mengambil resiko tersebut, kita harus selesai dulu dengan diri sendiri. Contohnya harus rela kelaparan, diasingkan, dipidana dan lain sebagainya.
Banyak tokoh-tokoh Indonesia yang dulu berjuang untuk merdeka, sudah selesai dengan dirinya sendiri. Seperti halnya Pak Suekarno. Beliau rela diasingkan, diancam, dipenjara dan lain sebagainya oleh serdadu Belanda pada saat itu, apakah beliau berhenti berjuang untuk merdeka? Tidak. Mengapa bisa demikian? Karena telah selesai dengan dirinya sendiri.
Beliau tidak memikirkan saya mau tidur di mana, makan dengan apa, dan lain sebagainya. Tetapi yang beliau pikirkan adalah bagaimana cara mengusir Belanda dari tanah air ini agar kemerdekaan dapat kita raih.
Sebenarnya masih banyak tokoh-tokoh yang lain seperti Pak Suekarno, tinggal kita mencari tahunya. Agar apa? Agar kita tidak menganggap enteng sebutan aktivis.
Bukan berarti sebutan aktivis itu kaku yah, dalam artian harus kayak Pak Suekarno aja. Bukan. Tetapi, sebutan aktivis itu sangat sakral. Ditakutkan, banyak orang-orang yang mengaku aktivis tetapi ketika ditanya kontribusinya apa, dia kelabakan. Itu parah euy.
Maka untuk itu, marilah! Kita tidak mengaku menjadi aktivis, tetapi kita fokuslah menjadi agen perubahan. Cukup mereka di luar sana yang mengaku sebagai aktivis, meskipun kontribusi apa yang telah mereka berikan masih menjadi tanda tanya yang besar.
0 Komentar