Dilematis Antara Pergi Atau Bertahan

"Gimana mau gas ke jurusan bahasa indonesia?" Tanya si dia dengan antusias

"Nggak kayaknya dah, Pendidikan non formal sudah cukup."

"Lah, kocak ngapain kemarin ikut UTBK. Dan, ayolah bukankah Jurusan Bahasa indonesia impian kamu sejak dulu? Dengan mahir berbahasa indonesia yang baik dan benar kita bisa berhenti menertawakan orang-orang yang menggunakan kalimat tidak tepat."

"Yes, i know. But anway,"

"Bukankah kita bisa satu jurusan?" Rayunya lagi.

"Yeah, aku sebagai Maba, kamu sebagai kating, bukankah itu tidak balance haha."

Dia pun tertawa mendengar alasan yang rasional tapi konyol itu. 

Kemarin, media sosial diramaikan oleh hasil pengumuman ujian tertulis berbasis komputer (UTBK)  ada yang menangis histeris karena ke terima di kampus impian, atau tidak lolos. Bahkan secara mengejutkan teman-teman yang satu kelas dengan gue juga ikut lagi, nggak masalah sih itu pilihan masing-masing.

Perihal jurusan, gue teringat tahun kemarin ketika lolos UTBK jurusan Pendidikan Non Formal. Padahal, pilihan pertama gue adalah jurusan Bahasa Indonesia. Apakah gue menerima itu? Yeah, karena takdirnya begitu. 

Setelah gue perdalami hampir ke akar-akarnya, Peluang ke depan pendidikan non formal ternyata sangat luas. Ada tiga titik fokusnya, yaitu: Pemberdayaan (Pekerja sosial), Penelitian, dan pelatihan. Dari ketiganya akan dipelajari semuanya meskipun titik fokus kita mengambil salah satu.

Apakah gue nyaman di Pendidikan non formal? Lumayanlah balance. Gue mikirnya kalau pindah jurusan, nggak menjamin kok bakalan nyaman, pasti dalamannya 50 % seperti sekarang. Jadi nikmati aja. Lagian Pendidikan non formal kalau kita pikir realistisnya peluang ke depan cukup menjanjikan, tinggal harus pintar-pintar aja dari sekarang mencari peluangnya.

Perihal pendidikan bahasa indonesia, benar dengan apa yang disampaikan oleh si dia, bahwa itu masuk nominasi impian gue, terkait alasannya apa gue juga masih bingung. Tetapi kemarin ketika lagi MK gue dapat ilham dari Tuhan, ternyata rasional juga yah alasannya. Yaitu adalah, berbahasa Indonesia sesuai SPOK (Subjek, Predikat, Objek dan Keterangan). Contohnya seperti ini.

"Gue tadi udah makan Padang." Dengan "Gue tadi udah makan nasi padang." Lebih tepat yang mana? tentu yang kedua yah.  Kemarin yah ada moment yang bikin gue dan teman ketawa.

Teman gue kan mau beli Es coklat, tapi ternyata nggak ada. Kata pedagang sebelahnya, 'Es nya lagi salat a' Buset dah, seumur-umur gue baru dengar 'Es' bisa salat. 

Ini memang nggak lucu, tetapi dibaliknya ada dua hal bila kita seriusi. Pertama, dampak dari krisis kebudayaan bahasa indonesia yang baik dan benar. Di mana bahasa-bahasa dan budaya-budaya luar lebih mendominasi kebanding budaya sendiri. 

Kocak nggak sih, setiap hari kita berbahasa indonesia tetapi mempelajarinya malas, bahkan bodo amat. Mungkin di tahun yang akan datang, bisa jadi bahasa kita tergerus oleh bahasa yang lain, bisa jadi kan? Contohnya bahasa Daerah, sudah banyak tuh punah. Seperti Bahasa sunda, di Daerah gue itu anak-anak kecilnya rata-rata  berbahasa indonesia kebanding bahasa sunda. Apakah itu salah? Nggak. Cuman akan berdampak aja nanti yang mahir berbahasa sunda tinggal hitungan jari. Beitulah.

Kedua, gue jangan jauh-jauh cari pasangan, kan ada si dia dari jurusan Bahasa Indonesia Wkwkwk. Well, soal pergi atau nggaknya sedang gue pertimbangkan dalam sidang isbat di hati. Hati pertama 50 % menolak sedangkan hati kedua 50 % menerima. Tinggal pikiran yang kali ini ditunjuk sebagai hakim tertinggi untuk mengambil keputusan mencari data dan informasi yang akurat, rasional juga relevan.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement