Sumber gambar dari tribunnews.com
Saling menolong adalah prilaku yang harus kita lakukan. Sejak kita duduk di bangku SD sampai sekarang, tuntutan untuk saling menolong sudah menjadi makanan biasa bagi kita. Namun, ada saja orang yang tidak melakukannya dengan alasan yang tidak logis. Padahal, apa susahnya menolong seseorang yang sedang kesusahan di saat kita mampu?
Budaya akan membantu orang yang sedang kesusahan tidak lagi menjadi penting. Sebab banyak orang-orang di luar sana yang tidak menghiraukannya. Contoh terkecilnya adalah ketika kita melihat sampah yang berserakan, alih-alih kita membuangnya ke tempat sampah ini hanya pergi dengan muka santai.
Atau, ketika melihat orang lain sedang kecelakaan di jalan raya, alih-alih membantu ini malahan menyebarkannya di sosmed. Padahal, keadaan si korban sedang kritis berat.
Saya teringat tragedi kemarin ketika kami pulang dari Serang. Di perjalan tepatnya di jalan Palima ada dua perempuan yang sedang mendorong motornya. Tanpa berpikir panjang kami langsung mendatanginya meskipun kita tidak tahu bagaimana cara membantunya karena memperbaiki motor sangatlah sakral. Salah sedikit konsekuensinya akan panjang.
"Teh, punten kunaon motorna?" tanya teman saya kepada si perempuan yang mendorong motor.
"Nggak tahu kak, tiba-tiba mati aja."
"Ya udah, berhenti dulu di sana." sambil menunjuk ke depan.
Si perempuan mengikuti perintah yang dikatakan oleh teman saya tadi. Mukanya yang tadi khawatir terlihat sedikit lega ketika kami datang membantu.
Tanpa banyak tanya, teman saya langsung mencoba menghidupkan motor. Setelah beberapa kali mencoba akhirnya berhasil. Tetapi, selang beberapa menit motornya kembali mati.
"Kunaon sih iye motor. Lamun ngges hirup paeh dei wae?"
"Itu pasti busi-nya kotor kali," jawab saya asal karena soal motor saya bukan ahlinya.
"Iya kali."
"Ini teh sering dibersihkan nggak busi-nya?" tanya saya kepada perempuan yang mukanya penuh harap motornya kembali hidup.
"Nggak kak." jawabnya cemas.
"Udah dari mana gitu teh?" tanya saya lagi
"Udah kuliah di UIN, tuh yang di sana? Sambil menunjuk ke seberang sana.
"Pulangnya ke mana, teh?" tanya teman saya.
"Ke Labuan."
Ketika mendengar ke 'labuan' kami hampir syok. Bayangkan betapa jauhnya jarak mereka menimba ilmu di sini? Kita saja yang jaraknya dekat dari tempat menimba ilmu terkadang kalah oleh yang namanya malas. Sedangkan mereka? Tetap melaju mengalahkan hawa nafsu untuk bermalas-malasan.
Kami pikir rumah mereka dekat dari sini, karena dengan step insya Allah sampai. Nah, ini ke Labuan? Masya Allah jauh sekali. Pantesan muka mereka begitu cemas sampai membuat kami Iba.
Tragedi itu telah membuat saya tertampar. Lihatlah, betapa semangatnya dua perempuan ini menimba ilmu yang jaraknya begitu jauh.
Setiap hari, Dua jam perjalanan mereka lalui untuk menimba ilmu di sini. Tak mereka hiraukan apakah setelah pulang menimba ilmu akan bisa kembali pulang atau tidak? Sebab yang mereka pikirkan adalah menghilangkan kebodohan di dalam diri mereka meskipun dengan jarak yang cukup jauh.
Saya bersyukur bisa dipertemukan dengan mereka, apalagi berkesempatan bisa membantu. Karena dengan mengenal mereka ghiroh saya untuk semangat belajar terbangun kembali setelah beberapa hari sebelumnya mengalami kemunduran yang pesat.
0 Komentar