Di kampung Seklok Lebak - Banten
"Malam ini jadwal pengajian bahas apa?" Tanya gue kepada yang lain.
"Membahas ilmu tajwid, yang ngajar anak pak ustad, cantik banget loh." Jawab Riki dengan antusias.
Gue hanya menjawab senyum, yeah menganggap itu candaan, lagian tujuan gue adalah belajar bukan cari pasangan.
"A, yang itu orangnya, Cantik kan?" Kata Mudin memberitahu gue yang sedang fokus membaca Al-qur'an.
Gue alihkan pandangan untuk melihatnya secara live, yeah memang cantik. Dalam hati gue merenung, usianya masih muda tapi ilmu agamanya begitu kaya. Lantas dengan gue? Belum ada apa-apanya. Selama pengajian berlangsung gue hanya menyimak sambil menundukkan kepala, merasa mendapat tamparan keras, untuk terus semangat menuntut ilmu.
Kemarin, ketika mengikuti Kemah Kerja Mahasiswa (KKM) HMJ PNF UNTIRTA (2024), gue lebih banyak meluangkan waktu di pondok, bahasa sundanya adalah 'kobong' teman-teman Kampus memberi gue gelar, Hasyim Kobong. Kocak emang bisa-bisanya.
Selepas Shalat Maghrib, gue rutin mengikuti pengajian di Majlis bersama yang lain, seru aja gitu mendapat pengalaman dan ilmu yang baru, berikut gue paparkan moment-nya.
Hari pertama, awal di mana gue mengikuti pengajian membahas tentang Fiqih Jenazah. Seperti membungkus jenazah laki-laki dan perempuan berapa lapis, juga rukun shalatnya. Pak Ustad menjelaskan sangat detail sambil ditambahkan selera humor yang mengundang tawa.
Ngaliwet bersama
Hari kedua, membahas ilmu tajwid yang mengajar adalah anak Pak Ustad. Keadaan terasa canggung, apalagi secara tiba-tiba gue ingin terus menunduk sambil bermuhasabah diri, betapa dangkal ilmu agama yang gue punyai dibandingkan yang lain, yeah gue tahu bahwa membandingkan diri itu tidak baik, tetapi tujuan gue di sini adalah untuk memacu diri terus semangat menuntut ilmu, tanpa merasa puas dulu.
Gue menerawang apa yang gue ketahui tentang huruf Mad, Idghom, Ihfa, dan lain-lain. Tradisi ilmu tajwid di sini dengan yang gue pelajari mempunyai perbedaan, salah satunya ketika menjelaskan hukum bacaan Al-qur'an harus membaca Nadhomnya. Yeah, gue bersyukur mendapat pengalaman dan pengetahuan baru lagi.
Hari ketiga, membaca Al-qur'an di rumah Pak Ustad. Jujur dah ketika bagian gue, tangan gue terasa getar takut salah, kocak emang. Beruntungnya tidak ada hambatan sampai selesai.
"Ini mah Mahasiswa dari mana asalnya, alus euy ngajinya?" Tanya Istri Pak Ustad ketika gue mau pamit.
"Saya dari Pandeglang, Ibu." Jawab gue dengan sopan, sambil bersiap menutup pintu.
"Namanya itu Hasyim. Ke sini ngopi dulu." Ajak Pak Ustad.
Gue melihat ke sekeliling, tampaknya sedang berkumpul semua, malu euy. Dengan sopan gue menolaknya karena ada urusan dulu, yeah biasanya menuju Isya di bascampe persiapan breifing dan evaluasi untuk hari esok.
Hari Ke empat, karena hari Jum'at jadwalnya membaca tahlilan bersama Pak Ustad di Majlis. Cuman sebentar, yeah sekitar dua puluh menit, setelah itu bubar ke habitatnya masing-masing.
Biasanya, setelah selesai mengaji gue shalat Isya dulu baru OTW ke bescampe mengikuti evaluasi, baru setelah itu makan (Kalo masih ada sisa) Kadang gue mikir, kalo ikut mengaji pasti nggak bakalan kebagian makan malam, sebaliknya kalo ikut makan malam bareng, gue nggak bakalan keburu mengaji. Maka dari itu, gue memutuskan bodo amat mengaji aja, urusan makan mah nanti juga ada. Kocak emang gue mempunyai pemikiran kayak begitu, numpang di kampung orang sok kuat nahan lapar.
Tuhan memang tak tidur, tiba-tiba gue dapat makanan aja. Entah itu diberi sama warga atau yang sering adalah masak bareng anak pondok. Jadi, bisa tidur nyenyak dong gue.
"Kita ngaliwet Yuk!" Ajak gue ke yang lain di sela-sela obrolan.
"Gas!" Jawab mereka antusias.
Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing untuk membawa bahan-bahan bacakan, ada yang bawa tempe, nasi dan pelengkap lainnya. Sedangkan gue bawa apa? Ini yang kadang membuat gue nggak enak, mau ikut iuran tapi bingung bawa apa, mentok-mentok palingan ke warung membeli Mie Goreng Sukses dua bungkus sebagai pelengkap.
Setelah bahan-bahan terkumpul, kami pergi ke Dapur. Mudin bertugas menyalakan api sambil menanak nasi, Hasyim Mulyadi (bukan gue, namanya mirip) bertugas memasak tempe dan sejenisnya. Andi, menjadi kameramen. Riki menjadi wartawan yang memberikan banyak pertanyaan kepada gue, sehingga suasana makin ramai. Ruhiyat juga sama menjadi pembicara kayak gue. Yeah, sederhana tapi penuh makna. Ouh iyah satu lagi, terkadang tiba-tiba ada Ahya ikut bergabung membuat obrolan makin panjang.
Pesantren kilat, itulah yang sering gue tanamkan di hati. Bahwa ini adalah moment gue belajar bagaimana menanak nasi, mengaji diri, dan menambah ilmu. Bersama mereka gue akhirnya bisa kembali merasakan menjadi seorang santri yang sedang menuntut ilmu, jauh dari Rumah tetapi dekat dengan Tuhan.
Gue menerawang apa yang gue ketahui tentang huruf Mad, Idghom, Ihfa, dan lain-lain. Tradisi ilmu tajwid di sini dengan yang gue pelajari mempunyai perbedaan, salah satunya ketika menjelaskan hukum bacaan Al-qur'an harus membaca Nadhomnya. Yeah, gue bersyukur mendapat pengalaman dan pengetahuan baru lagi.
Hari ketiga, membaca Al-qur'an di rumah Pak Ustad. Jujur dah ketika bagian gue, tangan gue terasa getar takut salah, kocak emang. Beruntungnya tidak ada hambatan sampai selesai.
"Ini mah Mahasiswa dari mana asalnya, alus euy ngajinya?" Tanya Istri Pak Ustad ketika gue mau pamit.
"Saya dari Pandeglang, Ibu." Jawab gue dengan sopan, sambil bersiap menutup pintu.
"Namanya itu Hasyim. Ke sini ngopi dulu." Ajak Pak Ustad.
Gue melihat ke sekeliling, tampaknya sedang berkumpul semua, malu euy. Dengan sopan gue menolaknya karena ada urusan dulu, yeah biasanya menuju Isya di bascampe persiapan breifing dan evaluasi untuk hari esok.
Hari Ke empat, karena hari Jum'at jadwalnya membaca tahlilan bersama Pak Ustad di Majlis. Cuman sebentar, yeah sekitar dua puluh menit, setelah itu bubar ke habitatnya masing-masing.
Berbincang soal tradisi masyarakat
Hari Kelima, Jadwalnya kembali membaca Al-qur'an di Rumah Pak Ustad. Apa yang gue rasakan? Biasa aja nggak getar, malahan lebih santai. Dan pada hari ke Tujuh, gue nggak mengaji karena pada saat itu silaturami ke Rumah Abah Asep, salah satu kesepuhan Kp Sukarasa.
Biasanya, setelah selesai mengaji gue shalat Isya dulu baru OTW ke bescampe mengikuti evaluasi, baru setelah itu makan (Kalo masih ada sisa) Kadang gue mikir, kalo ikut mengaji pasti nggak bakalan kebagian makan malam, sebaliknya kalo ikut makan malam bareng, gue nggak bakalan keburu mengaji. Maka dari itu, gue memutuskan bodo amat mengaji aja, urusan makan mah nanti juga ada. Kocak emang gue mempunyai pemikiran kayak begitu, numpang di kampung orang sok kuat nahan lapar.
Tuhan memang tak tidur, tiba-tiba gue dapat makanan aja. Entah itu diberi sama warga atau yang sering adalah masak bareng anak pondok. Jadi, bisa tidur nyenyak dong gue.
Makan bersama
Gue respek sama teman-teman Kampus, terutama kating yang malahan mendukung gue ikut mengaji, meskipun tadi nggak ikut makan bareng dan selalu telat ikut evaluasi. Hal inilah yang membuat semangat gue terus pasang tanpa surut, meskipun hanya seorang doang. Gue sering mengajak yang lain untuk ikut, tapi memang mereka pada nggak bisa karena mempunyai urusan dulu, biarlah. Tepat pada hari terakhir, Dohri mau ikut. Entahlah, gue antara ngakak dan bersyukur bisa memaksanya untuk ikut sampai berhasil.
"Kita ngaliwet Yuk!" Ajak gue ke yang lain di sela-sela obrolan.
"Gas!" Jawab mereka antusias.
Kemudian mereka pulang ke rumah masing-masing untuk membawa bahan-bahan bacakan, ada yang bawa tempe, nasi dan pelengkap lainnya. Sedangkan gue bawa apa? Ini yang kadang membuat gue nggak enak, mau ikut iuran tapi bingung bawa apa, mentok-mentok palingan ke warung membeli Mie Goreng Sukses dua bungkus sebagai pelengkap.
Setelah bahan-bahan terkumpul, kami pergi ke Dapur. Mudin bertugas menyalakan api sambil menanak nasi, Hasyim Mulyadi (bukan gue, namanya mirip) bertugas memasak tempe dan sejenisnya. Andi, menjadi kameramen. Riki menjadi wartawan yang memberikan banyak pertanyaan kepada gue, sehingga suasana makin ramai. Ruhiyat juga sama menjadi pembicara kayak gue. Yeah, sederhana tapi penuh makna. Ouh iyah satu lagi, terkadang tiba-tiba ada Ahya ikut bergabung membuat obrolan makin panjang.
Silaturahmi bareng Abah Asep
Topik pembahasan yang gue hindari adalah ketika menjerumus kepada Anak Pak Ustad. Astagfirullah, bukan gue nggak suka atau anti, tapi masih banyak hal yang harus diperbincangkan, termasuk tradisi-tradisi masyarakat di kampung tersebut.
Pesantren kilat, itulah yang sering gue tanamkan di hati. Bahwa ini adalah moment gue belajar bagaimana menanak nasi, mengaji diri, dan menambah ilmu. Bersama mereka gue akhirnya bisa kembali merasakan menjadi seorang santri yang sedang menuntut ilmu, jauh dari Rumah tetapi dekat dengan Tuhan.
0 Komentar