"Apa makna hidup, elo?" Tanya gue ketika me-wawancara teman satu organisasi, yang usianya lebih muda dari gue, dia baru kelas tiga tingkat SLTA.
"Makna hidup dalam kecamata Tasya adalah, kesempatan." Lalu disampaikan panjang lebar dengan detail.
Hidup itu adalah kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Dan manusia itu terbagi menjadi dua bagian, pertama orang yang menggunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya lalu gagal dan bangkit lagi. Kedua, orang yang sama menggunakan kesempatan itu tapi setelah gagal dia tidak mau bangkit lagi karena merasa percuma.
Dalam kecamata dia orang-orang terlalu takut menggunakan kesempatan yang kedua kali setelah gagal mencoba kesempatan pertama. Padahal kalau dipikir-pikir dia diam dalam ketakutan ada resikonya, sebaliknya bangkit juga ada resikonya, tinggal kita mau bersikap bagaimana dalam hal tersebut.
Ada dua orang yang memandang percuma, pertama orang yang berusaha untuk tidak percuma meskipun kedepannya dia bakalan percuma atau tidak percuma. Kedua orang percuma yang diam saja takut berusaha, lalu tenggelam dalam percuma.
Kita memang tidak tahu alur kehidupan mau bagaimana ke depannya, sebab itu di luar kuasa kita. Yang hanya bisa dilakukan adalah mempersiapkan dan menjalani dengan sebaik-baiknya. Jila rencana yang sudah kita buat tidak berjalan dengan semestinya, berhenti berdebat, lakukan yang lain lagi.
Menurutnya ada tiga hal mengapa orang-orang tidak mau menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya, diantaranya:
1. Minimnya mental
Kita hidup di era teknologi yang maju, semua hal apa pun dapat kita raih mulai dari informasi-informasi dan lain sebagainya. Dengan adanya teknologi, sikap kita manja dalam berusaha sehingga membuat tekad yang bulat buat berubah, santai-santai dulu.
Contohnya adalah jam masuk Sekolah pukul tujuh lewat lima belas, kita harus stay jam tuju pas. Tapi karena kita punya motor ya, santai-santai aja tuh jam tujuh masih pada di jalan, padahal harusnya awal-awal berangkat, bukan malah pas mepet langsung sat-set. Inilah yang membedakan tekad orang dulu dengan zaman sekarang. Kalau dulu tekad itu utama sehingga membuat mental-mental pejuang terbentuk, kalau sekarang sebaliknya, mengutamakan fasilatas sehingga kandas di perjalanan.
Bila mental sudah bersatu padu dengan tekad, rintangan apa pun yang ada di depan bukan masalah besar. Tidak punya motor buat ke Sekolah, masih punya cara lain, seperti nebeng atau sekalian jalan kaki. Jadi tidak mentok di masalah itu, justru terus mencari solusi menyelesaikan masalah itu.
2. Mudah terdistraksi
Orang zaman dulu, bila memasuki ruangan pertama lantas di dalamnya kosong dia bakalan menerima dengan lapang dada. Dia tidak berhenti di situ, mencoba ke ruangan selanjutnya dan mendapatkan apa yang dibutuhkan lalu fokus belajar di situ sampai sukses menjadi seorang ilmuan. Kalau orang zaman sekarang berbeda, dia masuk ruangan lalu menemukan apa yang dia butuhkan tapi berhenti di tengah jalan karena lelah atau alasan lagi. Setelah itu pergi ke ruangan kedua dan ketiga, isinya kosong tidak mendapatkan apa-apa.
Atau, dia masuk ke ruangan pertama yang gelap dengan dibekali satu lilin, lalu masuk dan kosong, setelah itu masuk ke ruangan kedua, dia mendapatkan itu tapi di tengah jalan berhenti.
Apa yang membedakan kita dengan orang zaman dulu sehingga mudah sekali terpengaruh?
Orang zaman dulu mempunyai tekad yang kuat sehingga terbentuk mental tangguh untuk terus bergerak. Meskipun di ruangan pertama tidak mendapatkan apa-apa, dia mencari ke ruangan kedua, ketiga lalu fokus belajar dan belajar sampai sukses. Sedangkan kita, baru melangkah langsung kalah oleh komentar-komentar orang terhadap apa yang kita lakukan. Alih-alih terus beproses kita malah diam di ruangan tersebut dengan cahaya lilin yang hampir padam. Setelah padam mulai menyalahkan keadaan dan bahkan menyalahkan ketidakadilan Tuhan.
3. Timbal balik
Pada umumnya kita sering di doktrin dengan pemahaman bahwa dengan melakukan kebaikan orang-orang akan berlaku baik juga dengan kita. Salah nggak? Nggak. Yang salah adalah bila orang-orang yang kita perlakukan baik tidak baik kepada kita, respon kita malah bilang percuma baik kalau disepelekan, padahal santai aja sih. Akhirnya orang-orang selalu mengutamakan timbal balik dalam melakukan sesuatu.
Saya akan belajar dengan giat, bila fasilitas lengkap. Saya akan berprilaku baik, bila orang lain baik kepada saya. Budaya ini terus menyebar dan menyebar sehingga lahirlah orang-orang yang pragmatis. Memang tidak ada larangan buat pragmatis karena itu realistis, tetapi itu harus dilakukan di waktu yang tepat bukan di semua tempat.
Hal ini yang menghambat orang-orang untuk menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya. Padahal dari awal sudah gue singgung, lebih baik percuma karena sudah mencoba kebanding percuma tidak melakukan apa-apa.
"Ibaratnya gini kak. Ruangan itu Bumi yang sangat gelap, lilin itu ilmu yang memberi cahaya dalam kegelapan, kita masuk ke beberapa ruangan buat mencari makna kehidupan dengan dibekali satu lilin doang. Bila kita berhenti belajar hal baru maka semakin hari lilin itu akan padam, sebaliknya semakin banyak belajar lilin itu akan tambah terang sehingga memudahkan langkah kita dalam mencapai mimpi." Ucapnya yang bermakna dalam sehhingga membuat gue diam sejenak memikirkan.
"Yeah, pandangan Tasya terhadap orang yang berjalan bareng di kegelapan ruangan itu bagaimana? Kan ada orang-orang di luar sana yang ingin punya pasangan dalam proses belajar untuk saling ngasih effort dan lain sebagainya?" Tanya gue menghubungkan dengan kenyataan.
"Tergantung sih kak. Bila mereka tidak satu misi hubungannya akan menjadi hambatan. Sebaliknya, bila dari keduanya mempunyai misi yang sama itu bagus bisa saling melengkapi. Kalau dari pandangan kakak?"
"Sama kalau satu misi itu bagus, dan itu perlu komitmen yang berdasar biar tidak salah jalan. Dan kalau pun belum bertemu dengan orang yang tepat seperti itu tak perlu risau, jalani di ruangan itu sendiri tanpa takut dengan komentar orang. Justru itu bagus, karena kebersamaan akan spesial bila sudah merasakan lelahnya berjuang sendirian. Bukankah begitu?"
"Yeah, sepakat."
"Apa yang dirasakan oleh Tasya selama menjalai kehidupan?" Tanya gue kepada point selanjutnya.
Ada beberapa hal, diantaranya:
1. Hidup Tidak Adil
Kita tidak bisa memprediksi kehidupan setelah ini akan terjadi apa, besok akan bagaimana, itu di luar kuasa. Seperti halnya dulu dia sering mengalami kegagalan dalan pertemuan acara bersama teman-teman, itu perkara biasa. Hidup itu seperti itu, tidak adil dalam kecamata orang-orang yang tidak mengetahui mengapa hal itu terjadi.
Kadang pernah nggak sih kita misalnya pas ujian tidak menyontek hasil kerja keras sendiri, nilainya lebih kecil dari teman kita yang menyontek. Lalu kita geram, tidak menerima kenyataan itu. Padahal harusnya bangga. Pertama kita jujur, kedua harus belajar lagi. Mungkin untuk beberapa hari kita butuh waktu buat menerima itu semua, tapi setelah kita renungi dalam-dalam bahwa memang hidup ini nggak adil bagi kita yang sok memprediksi tanpa mau menggali hikmahnya.
2. Tidak menerima perbedaan
Di saat diberi tugas buat memilih kelompok sendiri-sendiri, orang-orang yang dianggap pintar dari nilai akademik akan menjadi rebutan teman-teman. Padahal buat apa? Toh belum ada jaminan nilai kelompok tinggi bersama orang-orang yang dianggap pintar. Dalam kecamata Tasya, orang-orang tidak mau berani berbeda dengan orang lain dari hal ini, apalagi di luar dari hal ini.
Harusnya tidak ada sekat antara orang yang dianggap pintar dengan orang yang biasa saja. Toh semuanya juga sama-sama unik dan mempunyai keterampilan masing-masing. Cuman masalahnya adalah mereka tidak mau berani berbeda menjadi diri sendiri kebanding menjadi orang lain.
3. Bisa berdiri sendiri
Semua orang sebenarnya mempunyai keyakinan di dalam dirinya sendiri bahwa dia bisa berdiri sendiri dalam hal-hal yang dia kuasai tapi tidak di luar batas kemanusiaan. Dalam hal ini, Tasya selalu yakin bisa melakukan sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Kecuali, sudah tidak mampu melakukannya.
Keyakinan ini harus balance antara kapan waktunya melakukannya dengan kapan melakukannya bersama orang lain. Contohnya, soal cita-cita itu kita yang harus gapai bukan orang lain. Sedangkan gotong royong atau tugas kelompok itu dikerjakan bareng-bareng biar ringan, ini mah bukan sama diri sendiri. Seandainya kita mampu melakukan itu sendiri, jangan dipaksakan berilah ruang kepada orang lain. Kecuali orang lain tidak becus mengerjakannya.
"Apa solusi dari Tasya agar yang dirasakan itu seperti, hidup ini tidak adil dan lain sebagainya bisa diatasi?" Tanya gue ke point selanjutnya.
Dia mengatakan ada dua hal, diantaranya:
1. Tidak takut salah
Salah itu wajar, yang kurang hajar itu belum melakukan salah, malah menyalahkan keadaan bahkan Tuhan. Untuk menggunakan kesempatan hidup dengan sebaik-baiknya kita harus berani salah, kemudian memperbaiki kesalahan itu untuk dijadikan pelajaran. Orang-orang yang bijak adalah dia yang banyak salah tapi bisa menggunakan salah itu sebagai arah untuk melangkah.
Seperti halnya orang zaman dulu dengan segala keterbatasan di ruangan yang gelap itu, dia tidak takut salah jalan karena dia yakin bahwa selalu ada jalan bagi orang-orang yang melangkah di jalan lillah. Tujuan mereka masuk ruangan bukan buat dipuji orang, melainkan mencari ilmu pengetahuan untuk meringan beban hidup dan mengetahui keaguangan-Nya dari setiap hal. Maka salah itu pasti, yang tak pasti adalah orang yang pernah salah mau memperbaiki kesalahannya karena egois terlalu merasa benar.
2. Percaya diri
Banyak orang-orang yang pintar tapi tidak mempunyai kepercayaan diri yang baik, akhirnya apa yang terjadi? Kepintarannya tidak berkembang, hanya pesat di situ saja. Kita harus sadar bahwa hidup ini tidak bisa diprediksi, tetapi Tuhan memberikan banyak kesempatan buat mengatasi dan menjalani hal itu, dengan cara percaya diri. Kalau tidak? Kita akan memilih mati atau hidup dengan tujuan yang tidak berarti.
Selanjutnya gue nanya, apa yang membuat karakter dia terbentuk menjadi seperti sekarang? Sehingga mempunyai pandangan yang luas soal kehidupan, tidak seperti kebanyakan orang?
Ada beberapa hal, cuman yang gue utamakan adalah pengalaman. Yang gue tangkap metode pembelajaran dia terhadap dirinya itu memakai teori konstruktivisme. Apa itù? Metode pembelajaran berdasarkan pengalaman yang dulu pernah di lewati.
Seperti halnya, mengapa dia tidak takut salah dan bahkan dalam melakukan hal apa pun percaya diri dulu aja soal hasil mah belakangan? Karena dulu ada beberapa kesempatan yang Tuhan berikan kepada dia tapi tidak digunakan dengan sebaik-baiknya. Sehingga hari ini dan ke depan dia mempunyai tekad untuk selalu menggunakan kesempatan-kesempatan.
Gue salut karena hal ini tidak setiap orang bisa lakukan. Masa kelam dulu bisa dijadikan pelajaran ke depan bukan dijadikan hambatan dengan dalih trauama atau pernah gagal dan lain sebagainya. Tokoh yang sukses menggunakan hal ini dalam hidup adalah, Jack Ma, Barack Obama, Ofrah Wifrey, dan masih banyak lagi.
Kelebihan dari teori ini banyak, salahsatunya bisa membuat kita terus berambisi untuk terus berubah. Kekurangannya adalah, pertama selalu ingin tampil beda sehingga membuat orang-orang tidak suka dan mikir macam-macam. Kedua, dianggap egois karena selalu tampil menggunakan segala kesempatan. Ketiga, harus bisa menyeimbangkan antara kapan harus bersosialisasi dan kapan menyendiri. Ini harus balance kalau tidak kita butuh beberapa hari buat bangkit lagi.
Terakhir gue meminta pesan kepada dia buat orang-orang yang sedang dalam fase bertumbuh memperbaiki dirinya. Pesan yang dia sampaikan itu sederhana dengan analogi.
Ayah adalah orang yang mencintai anak dengan cara melepaskan. Contohnya, dia mau keluar membawa motor pasti diceramahi dulu harus persiapan dengan matang, bawa sim, stnk dan lain sebagainya. Lalu setelah itu dibiarkan. Sehingga kalau misalnya terjadi apa-apa, ditangkap polisi lupa bawa sim, akan membuat sadar bahwa, ouhh! Ternyata benar dengan apa yang Bapak bilang tadi, jaga-jaga aja. Dan itu bakalan menjadi pelajaran ke depan.
Sedangkan seorang Ibu itu mencintai anak dengan cara menggenggam. Segala dilarang untuk inilah, itulah, sehingga membuat si anak penasaran dan mencobanya. Dalam hal ini, dia lebih memilih cara si Ayah yaitu mencintai itu melepaskan tidak digenggam aja.
Dan dalam menjalani kehidupan juga harus seperti itu, misalnya punya pasangan jangan melulu digenggam. Lepaskanlah dia buat berlayar mencari hal-hal baru, asalkan sebelum dilepas buat dulu komitmen biar tidak bebas-bebas amat.
Kita cinta akan perubahan untuk mencapai cita-cita yang kita inginkan, maka lepaskanlah diri kita untuk menggunakan kesempatan-kesempatan yang Tuhan berikan. Jangan digenggam saja kesempatan itu, salah itu wajar, gagal itu biasa dalam perkara perjuangan, bangkit lagi itu baru luar biasa.
Kalau tidak lebih baik, lebih baik tidak.
Itulah kutipan quotes darinya untuk dijadikan sebagai rujukan dalam melangkah. Untuk menggunakan kutipan ini dalam hidup dia berpesan bahwa harus dipikir matang-matang dulu, disiapkan beberapa opsi biar tidak menyesal mengambil keputusan dari kutipan itu.
Banyak hal yang gue dapatkan dari wawancara itu. Saking semangatnya dia berbincang, ruang gue buat bicara sedikit doang. Walau bagaimana pun juga gue tetap senang bahkan terima kasih sekali karena Tuhan mengizinkan gue buat berbincang dengannya, sehingga cakrawala gue terhadap kehidupan ini makin luas aja.
Ada beberapa pertanyaan yang kami tidak kembangkan, karena terkendala oleh waktu. Buset dah! Gue berbicang perihal ini aja pajang banget, sehingga terpaksa kami cansel dulu, dan dilanjut entah kapan itu. Yang penting gue sudah mengetahui point intinya bahwa hidup ini dalam kecamatanya adalah kesempatan yang harus kita gunakan maksimal.
0 Komentar