Foto saat Pelantikan PW Pii Banten
“Membaca situasinya, kemungkinan besar delapan puluh persen elo ngulang MK lagi dah, benar-benar ceroboh.” Ucap Vika kemarin, ketika gue telat masuk kelas.
“Yeah, kita lihat saja nanti, gimana baiknya.” Jawab gue santai.
“Sia-sia, apa artinya berpendidikan kalau selalu menyepelekan hal kecil, apa artinya berpendidikan kalau selalu memprioritaskan yang di luar, dan apa artinya berpendidikan kalau tidak bisa mengubah situasi.” Ucapnya mulai megeluarkan sarkas.
“Oh yah, lantas apa artinya berpendidikan kalau hanya demi ambisi diri, gelar, prestasi besar yang bergantung pada alat bantu, dan dampaknya nol persen, terkikis oleh kepentingan semata.”
“Gue ingatkan lagi, Landasan Pendidikan kita berbeda, elo terlalu eksistensialisme buat gue yang pragmatisme, jadi jangan bahas itu lagi.”
Dan yeah, dia pun pergi dengan muka cemberut.
Pendidikan merupakan senjata atau gerbang utama bagi kita semua dalam menjalani kehidupan ini. Baik atau buruknya Pendidikan yang kita dapatkan, akan berpengaruh kepada cara pandang serta perilaku kita sehari-hari. Dalam Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 (yang bulan ini mau direvisi) pada Bab 1 poin pertama menyatakan bahwa, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan suasana pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan bagi dirinya.
Kata yang perlu kita garis bawahi adalah usaha sadar dan terencana, yang dapat kita simpulkan usaha sadar dari berbagai pihak baik internal maupun eksternal untuk menyadarkan Masyarakat pentingnya Pendidikan ini, yang tentunya sudah terencana dari aspek kualifikasi, jenjang, dan kurikulum. Lebih lanjut, pemerintah membagi tiga jalur Pendidikan. Yaitu: Pendidikan Formal, Pendidikan Nonformal dan Pendidikan Informal.
Menurut Ki Hajar Dewantara yang gue kutip dari Goagle menyatakan bahwa, Pendidikan sebagai upaya untuk mengembangkan budi pekerti, pikiran, dan tubuh anak. Bahkan dimaknai sebagai proses pembudayaan manusia yang beradab. Salah satu tujuan besarnya adalah untuk memerdekakan manusia dalam segala aspek kehidupannya. Tentu kalau kita bicara definisi serta metode, ada beberapa yang disampaikan oleh pakar Pendidikan.
Ada dua teori Pendidikan yang paling gue ingat adalah, pedagogi dan andragogi. Pedagogi ini digagas oleh Paulo Freire dan temannya Johan Friedrich Herbart (1776-1841) yang di mana sasarannya adalah Anak-anak, yang biasanya bergantung kepada sasaran yang telah diterapkan oleh guru. Sedangkan Andragogi digagas oleh Akexander Kapp (1883) yang dipopulerkan oleh Malcom Knowles (1970) yang sasarannya adalah orang-orang dewasa untuk diberdayakan.
Menurut Dosen gue sih, teori andragogi ini masih ada keterkaitan dengan teori pembelajaran transformative yang digagas oleh Mezirow (1970) jujur gue belum menemukan perbedaan yang signifikan antara kedua teori ini, toh dilihat dari aspek sasaran, sama-sama orang dewasa. Aspek lainnya juga sama, yeah mungkin gue harus mini riset lagi hehe.
Memaknai arti Pendidikan, dalam kecamata gue Pendidikan itu adalah saat kita memilih sesuatu hal, lalu menerima tanpa pernah menyesalinya. Mengapa demikian? Pertama, mengacu kepada apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara bahwa tujuan Pendidikan itu untuk memerdekakan manusia, ya ketika kita dapat memilih tanpa terdistrak dan tak menyesalinya berlebihan itu sudah masuk bagian dari Pendidikan.
Kedua, mengacu kepada definisi Pendidikan dari Bab satu, poin satu Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana, artinya ketika kita memilih itu ada proses sadar dan terencana, misalnya kalo pilihannya gagal gimana ini? Rencananya kalo berhasil bagaimana? Sudah ada pemikiran atau analisis ke sana, sehingga tidak menyesali pilihan itu. Jadi, kuncinya mampu merdeka memilih.
Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya ‘Bumi Manusia’ menyatakan bahwa ‘Sehendaknya orang yang berpendidikan itu adil sejak dalam pikiran dan perbuatan’. Arti lebih luasnya adalah, Seorang Petani nggak akan membuat program makan ubi gratis bagi para anak pesuruhnya, kalo dampaknya mereka nanti di PHK dan dana pendidikannya di potong untuk program tersebut.
Seorang Pelayan tidak bersembunyi di ketek majikannya setelah diketahui oleh warga, membuat Pagar di setiap sisi pegunungan untuk mengeruk kekayaannya tanpa memikirkan hak-hak para Petani di sana. Seorang aktivitis dalam organisasi Populer tidak akan bermain kepentingan mengatasnamakan rakyat, hanya demi isi perut. Seorang teman tongkrongan, tidak membully berkedok candaan saat kumpulan.
Dan seorang mahasiswa tidak mengutamakan nila IPK tinggi dibantu ChatGPT, tanpa diolah lagi untun benar-benar mempelajarinya. Mengapa demikian? Karena ketika kita mau melakukan berpikir dahulu, apakah benar yang saya lakukan ini? Apakah membuat rancangan undang-undang petani di Gedung pencakar langit, bukankah di Kebun/Gubug sudah tepat atau adil? Itulah pentingnya bagaimana kita adil sejak dalam pikiran.
Dewasa ini, gue melihat perspektif Pendidikan lebih dominan landasannya ke Pragmatisme. Yang di mana prestasi dan gelar akademik adalah segalanya, yang padahal itu hanya untuk kepuasan diri sendiri. Ya, nggak apa-apa sih setiap orang memiliki haknya masing-masing untuk memilih. Gue lebih condong ke Eksistensialisme, yang di mana menekankan pada kebebasan dan tanggung jawab setiap orang kepada dirinya sendiri. Dan Pendidikan itu seharusnya membantu menemukan makna hidupnya sendiri.
Karena pemikiran gue yang eksistensialisme ini, jujur dah dalam belajar di kampus gue biasa aja gitu. Disebut ambisi banget ya, nggak, balance aja gitu. Ketika ada masalah di perkuliahan, ya udah gitu. Dan soal makna ini, menurut gue sangat membantu kita dalam menjalani kehidupan. Yeah, mengetahui makna hidup sendiri itu penting, karena itu ibarat kompas yang memberi arah ke mana tujuan kita selanjutnya. Makna hidup kita akan berubah seiring berjalannya waktu.
Yeah, itulah arti Pendidikan dalam kecamata gue, yang dapat disimpulkan di mana kita bisa memilih sesuatu hal tanpa menyesalinya. Karena ketika berhasil kita akan terus mempelajarinya, sebaliknya ketika gagal dapat mempelajari kesalahan itu. Semua tergantung perspektif, mari! Kita tanamkan pikiran yang positif!
0 Komentar