Hening. Semuanya terdiam. Di menit selanjutnya ada salah satu peserta yang menangis, menurutnya lagu ini mewakili apa yang pernah dialami. Inilah awal di mana adanya keterbukaan antar peserta. Bila ditinjau dari perspektif Pendidikan andragogi, dapat dipastikan sudah memenuhi syarat nominasi pembelajaran yang efektif. Oleh karena itu, sambil mendengarkan pikiran gue sibuk mengingat materi-materi kuliah yang diajarkan Dosen.
Di Pagi hari sebelum masuk lokal, Koordinator tim memberikan arahan kepada gue tentang materi hari ini. Gue bertanya, untuk materi pertama durasinya berapa jam? Dengan santai, dia menjawab hanya empat jam doang kok. Mendengar pernyataannya itu gue menanggapi dengan santai, sambil memutar otak strategi apa yang gue bawakan sampai benar-benar pas empat jam.
Karena mentok, gue meyakinkan diri bahwa semua ini akan baik-baik saja. Jadi, serahkan saja semuanya kepada-Nya. Dengan penuh percaya diri, gue pamit undur diri ke koordinator tim untuk memasuki lokal.
Di mukodimah itulah, tiba-tiba Tuhan memberikan gue petunjuk untuk menyampaikan sedikit tentang lagu Sampaikan pada jiwa yang bersedih. Poin plusnya adalah, gue sudah pernah mengkajinya, jadi tinggal sampaikan saja.
Gue menekankan bahwa kita ini hebat, toh setelah melewati beberapa ujian hidup, pada akhirnya kita tetap bertahan sampai sejauh ini. Oleh karena itu, kita harus mengapresiasi diri sekaligus mensyukurinya juga.
“Apa yang teman-teman dapat maknai dari lagu tadi?” Tanya gue lagi.
Ada beberapa jawaban dari mereka yang cukup beragam, sebelum gue meminta untuk bercerita, gue kembali menekankan dua point dari lagu itu berdasarkan hasil analisis gue sebelumnya di kampus. Diantaranya:
1. Berhentilah untuk berpura-pura sempurna, karena pada hakikatnya kita manusia biasa. Menangis merupakan sebuah tanda bahwa kita makhluk yang lemah, butuh akan kasih sayang-Nya. Maka menangislah, keluarkan semua yang membebani diri selama ini.
2. Kita ini hebat, hanya saja tak didengar. Sadar atau tidak, kita ini sedang mengalami yang Namanya krisis mendengarkan seseorang sedang berbicara atau bercerita. Hal ini terjadi karena beberapa factor, diantaranya: Tidak adanya saling mendengarkan satu sama lain. Dan lain sebagainya.
Ketika sesi cerita dimulai, gue memperhatikan dengan seksama apa yang mereka sampaikan. Sambil sesekali menyelipkan humor agar suasana mencair. Alhamdulillah, diberi kelancaran berkat bantuan-Nya. Menngetahui rekam jejak dari para peserta yang luar biasa, gue bertanya kepada diri sendiri, apakah kata puas diri harus tetap kita pertahankan lagi? Yeah, di situ gue kembali sadar diri bahwa pada hakikatnya belum ada apa-apanya, ilmu yang gue miliki sekarang belum seberapa dibandingkan dengan apa yang para peserta miliki. Oleh karena itu, gue berkomitmen untuk terus belajar dalam kondisi apa pun, tanpa terikat oleh ruang dan waktu.
Bila seandainya para peserta tidak menceritakan perjalanan hidupnya, mungkin gue tidak mengetahui betapa hebatnya mereka tetap bertahan sampai sekarang melewati berbagai gelombang hidup. Apa yang mereka ceritakan menjadi tamparan keras bagi gue untuk terus berproses. Dan ternyata benar dengan apa yang disampaikan oleh orang bijak. ‘Banyak orang-orang yang hidupnya lebih menderita dari kita, tetapi mereka tidak berisik’. Gue menjadi saksi, bahwa kata-kata itu benar adanya. Oleh karena itu, boleh kita mengeluh, asalkan kembali melanjutkan kehidupan ini. Karena pada hakikatnya semua ini sudah diatur dengan sebaik-baiknya oleh-Nya.
0 Komentar