Bincang-bincang Santai Menganalisis Kebijakan Publik

Bersama Laila, Nadia dan Indri
"Program Sekolah gratis bila kita kaji dalam dunia akademik yah, menurut gue akan menjadi paradoks, terlepas alasan mereka apa. Toh, faktanya di pusat sendiri dana pendidikan difokuskan ke makan siang gratis bukan?" Kata Indri kemarin, memantik diskusi.

"Yeah, gue setuju. Meskipun ada sistem desentralisasi, tapi kan bisa jadi sistem sentralisasi itu diutamakan, sehingga program ini untuk sementara waktu di pending dulu." Kata Laila, yang di-iyakan oleh Nadia.

"Yeah bisa jadi. Gue teringat kutipan di buku Strategi Pembangunan Daerah karya dari Nurman, M.Si,.h.d yang mengatakan bahwa salah satu faktor yang membuat program pusat dengan daerah tidak berjalan sesuai rencana karena adanya benturan kedua sistem ini." Kata gue.

"Terus, kira-kira solusi yang dapat ditawarkan apa?" Tanya Nadia yang membuat kami terdiam, karena sedang mencari solusi.

Kemarin pukul sepuluhan gue mengikuti acara diskusi yang diselenggarakan oleh Hima Administrasi Publik dengan tajuk, 'Menjadi Analis Kebijakan Publik di Era 5.0' Kebetulan nggak ada kelas sampai sore, ya udah gue gas. Lumayan, ilmu tambahan.

Sebelumnya, pada malam hari gue janjian dengan salah satu teman untuk bertemu, tujuannya sharing session, namanya Laila. Kalo ditarik sejarahnya kami bertemu lumayan kocak, yeah dipertemukan oleh acara, dipisahkan oleh acara dan kembali dipertemuka oleh acara, yeah begitulah.

Selesai acara, gue turun dari lantai tiga ke bawah untuk shalat, karena pertemuan akan dimulai setelah shalat Dzuhur. Di perjalanan gue ketemu teman Laila itu, namanya Indri, biasa gue panggil Cindy, kocak emang bisa-bisanya gue salah mengingat nama orang.

"Wih, ada elo. Jujur gue kaget banget cuy." Sapa indri, yang katanya tadi terkejut tiba-tiba ada gue di acara tersebut.

"Yeah, biasa cuy, lagi cari pengalaman."

Bersamaan dengan itu, Laila hadir menyapa kami. Gue memperhatikan kedua teman yang gue kenal setahun lalu ini, nggak terasa waktu secepat itu. Dan kocaknya, dalam waktu satu tahun, ini adalah awal kami bertemu kembali.

"Elo dapat info dari siapa cuy?" Tanya Laila dan Indri bersamaan.

"Gue dapat informasi dari Mita. Kebetulan nggak ada Mk, ya udah gue ke sini aja." Jawab gue yang membuat mereka mengangguk. Setelah mengatakan itu gue pamit untuk Shalat dulu, untuk nanti dilanjut ngobrol santai. Beruntungnya Indri dan satu temannya lagi yang ternyata namanya Nadia, bisa membersamai.

Topik obrolan yang kami gunakan itu random, ngalir aja gitu. Sempat di beberapa kesempatan mereka membahas apa yang gue nggak mengerti, yeah seputar keseharian ngampus, dan gue hanya memposisikan sebagai pendengar yang baik. Gue menganalisis keadaan, agar ngobrol ini terus berlanjut, gue harus pintar-pintar mencuri waktu kosong untuk mempertanyakan point-point yang sudah gue tulis, diantaranya sekitar jurusan mereka, isu-isu sosial, arti mahasiswa dalam sudut pandang mereka dan lain-lain.

Secara tidak langsung akhirnya topik obrolan menjadi terarah, yaitu ada tiga sesi. Berikut gue paparkan hasil obrolannya.

1. Sesi Ngampus di Jurusan Administrasi Publik

"Apakah sisi menyenangkan dan tidak menyenangkannya ngampus di jurusan administrasi publik?" Pantik gue kepada mereka.

"Dari dosennya yang excited sih." Jawab Indri

"Yups, jadi mereka benar-benar mengajar." Tambah Laila

"Ouh yah, kemarin pas hari batik seru banget loh! Kata si bapak, kita tidak ada pembelajaran, elo tahu apa?" Semprot Nadia dengan antusias, yang dijawab oleh Indri dengan antusias juga bahwa pembelajaran diganti untuk membuat konten tik-tok.

Mereka bertiga begitu antusias menceritakan itu, yang membuat gue harus berdiam diri untuk mengajukan pertanyaan lagi.

"Di PNF pas pembelajaran diskusinya aktif nggak?" Tanya Indri

"Yeah, lumayan aktif, tapi ada di beberapa mata kuliah biasa aja gitu." Jawab gue jujur yang membuat mereka menjawab, ohhh.

Sisi tidak menyenangkan ngampus di jurusan pendidikan administrasi publik menurut Indri itu capek bat dah. Soalnya ketika ada kebijakan-kebijakan baru kita dipaksa untuk update terhadap informasi tersebut, lalu setelah itu dikritisi secara mendalam. Jadi, menyala terus kepala haha.

Dia juga menyinggung, kenapa setiap ada kebijakan-kebijakan pemerintah yang sering bersuara hanya dari dua fakultas, yaitu Fakultas hukum dan Fisip, ke mana Fkip? Mendengar ucapan itu, gue mengangguk, karena memang benar. Padahal, Fkip juga harusnya ikut andil dalam mengawal isu yang sedang hangat itu, bukan dari dua fakultas doang. Lebih jauh,  Indri memberikan contoh soal stanting, itu harusnya masuk ke ranah fakultas kedokteran, bahkan Fkip. Bukan Fakultas hukum dan Fisip saja. Yeah, begitulah.

Gue mengerti alur dari pemikiran Indri yang di-iyakan oleh Nadia dan Laila. Maka dari itu, gue bilang bahwa kita perlu menciptakan ruang-ruang diskusi agar bisa sharing informasi antar jurusan atau fakultas. Agar ketika ada isu sosial, kita bisa membedahnya di jalur yang tepat, apakah ke hukum, kedotkteran, politik dan pendidikan? Atau bisa mengkaji isu tersebut sesuai persepektif masing-masing. Bila hal ini terjalin, bisa dipastikan terlahir data yang akurat.

Soal jurusan administrasi publik, gue nggak mempertanyakan lebih dalam lagi, karena dulu pernah berbincang dengan Mitha, jadi sedikit-sedikit tahu.

2. Sesi Membahas Isu-isu Sosial

"Elo sebagai orang yang kuliah di Pendidikan, memandang isu yang beredar di masyarakat yang mengatakan bahwa lebih baik yang mengajar di sekolah sebagai guru adalah orang-orang yang tidak kuliah di luar jurusan pendidikan dari pada hanya yang kuliah di dunia pendidikan, apakah setuju atau tidak?" Tanya Indri lagi, yang sudah berapa kali memantik diskusi agar tetap hidup.

"Gue setuju kalau dia ahli di bidang itu. Karena begini, kadang ada beberapa guru yang di mana dia lulusan di bidang pendidikan, tapi terpaksa gitu mengajarnya, seolah-olah menjadi guru itu tidak menyenangkan dan lain sebagainya. Padahal, peran guru itu sangat sentral untuk perkembangan koginitif peserta didik." Jawab gue

"Gue juga setuju dengan apa yang disampaikan oleh hasyim tadi, bahwa memang seharusnya yang mengajar itu sesuai dengan bidangnya, apalagi dengan kebijakan sekarang adanya kualifikasi dan sertifikasi guru itu adanya transformasi di dunia pendidikan ke arah yang baik lagi." Kata Laila

"Kalo dari gue juga sama. Tapi masalahnya tadi kalo misalnya si guru tersebut terpaksa mengajarnya itu akan menghambat proses tercapainya pembelajaran." Tambah Nadia

"Nah, maka dari itu ada istilah guru itu terbagi menjadi dua.'"

"Emang iya tah." Semprot Indri, yang membuat gue diam sejenak.

"Yups, ada guru yang hanya mengajar saja dan guru sebagai penggerak atau pendobrak motivasi belajar peserta didik. Makannya kan di kebijakan kurikulum merdeka ada istilah guru penggerak, ya itu asal-usulnya."

Berbincang soal isu-isu sosial banyak kita angkat, seperti: Tindakan korupsi, tindak asusila, bunuh diri, Cagub Banten dan lain-lain. Pada bagian, Cagub Banten, kami membahas visi misi dari dua paslon yang sebenarnya bila ditelisik lebih dalam itu hanya seremonial doang. Bahkan si Indri mengkritisi lebih pedas salah satu paslon yang mempromosikan program sekolah gratis. Kocak aja gitu, gimana mau menjalankan program sekolah gratis, toh di pusatnya aja dana pendidikan dipakai untuk makan siang gratis.  

"Benar Dri, ini kan adanya benturan sistem desentralisasi di daerah tersebut dengan sistem sentralisasi di pusat." Ucap Laila yang membuat perbincangan beralih kepada desentralisasi dan sentralisasi.
Sesi foto setelah diskusi di Untirta PaÄ·upatan
Gue menambahkan bahwa, berdasarkan buku yang gue baca tentang strategi pembangunan daerah karya Pak Nurman, mengatakan bahwa salah satu kendala dari majunya negara karena adanya sistem desentralisasi. Kenapa? Ya, adanya benturan antara kebijakan pusat dengan daerah tersebut. Iya aja kalo manajemen publiknya terorganisir dengan baik, kalo tidak bisa saling tindih. Tentunya ini sisi lain dari kekurangannya kedua sistem yang berlaku tersebut.

"Itukan isu-isu sosial yang terjadi di masyarakat, salah satunya akibat dari kurang kontrolnya pemerintah terhadap kebutuhan urgent masyarakat. Terus, solusi yang ditawarkan oleh teman-teman apa?'" Tanya gue, setelah panjang lebar menganalisis isu-isu sosial dan analisis kebijakan publik.

Mereka sepakat solusi yang ditawarkan adalah adanya program keberlanjutan dari pemerintah, seperti halnya kurikulum pendidikan yang terus berganti, hal ini berefek kepada indikator kurikulum sebelumnya, dengan adanya pembaruan kurikulum, membuat setiap elemen di dunia pendidikan harus beradaptasi dan itu membutuhkan waktu lagi.

selain itu, kesadaran SDM juga terhadap politik harus lebih peduli lagi. Semua itu dimulai dari diri kita dulu sebagai mahasiswa, sebelum ke masyarakat yang lain.

3.  Sesi Memaknai Arti Mahasiswa

Gue bertanya kepada mereka, apa yang berada di kecamata mereka memaknai mahasiswa itu sendiri? Mereka menjawab bahwa, mahasiswa itu sebagai agen perubahan di masyarakat dan penerima value dari pengetahuan-pengetahuan yang belum di ketahui oleh masyarakat, maka untuk itulah value-value itu pada akhirnya untuk masyarakat itu sendiri.

Mereka juga bertanya kepada gue terkait arti mahasiswa. Dalam kecamata gue arti mahasiswa itu adalah orang yang aktif belajar dalam hal apa pun itu, ujung-ujungnya untuk kebutuhan masyarakat, maka dari itu idealnya kita sebagai mahasiswa harus sering-sering berbaur dengan masyarakat sesuai kemampuannya masing-masing.

Terkait pertanyaan selanjutnya soal idealnya sebagai mahasiswa, kami sepakat harus sesuai dengan point-point di tri dharma perguruan tinggi, karena setiap point memiliki keterhubungan yang melekat. Dan, itu yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.

terakhir gue meminta pesan-pesan dari mereka untuk para mahasiswa di luar sana. Kocaknya mereka terdiam, bingung katanya apa yah wkwk. Setelah lama berpikir dan berdiskusi ada dua point yang didapat. Pertama, nikmati aja masa kuliahnya. Kedua, jalani aja dah. karena di setiap momen mengandung hikmah yang dapat dipetik.
  
"Elo sering penelitian, Co. Terus out put-nya apa cuy?" Tanya Laila, sebelum kami bubar yang membuat gue sedikit terkejut.

"Titik fokus gue mengumpulkan data dulu, soal out put bisa sambilan. Syukur-syukur itu bisa jadi bahan kalau nanti se-waktu-waktu menjadi tim perumus kebijakan pemerintah di suatu tempat." Jawab gue jujur

"Lah, maksud gue begini loh cuy, untuk apa ada penelitian kalau tidak ada out put mah. Minimal dibuat jurnal, kan elo sering menulis di blog." Bantah Laila, membuat diskusi menjadi hidup kembali.

"Bentar lail, yang gue tangkap dia tuh melakukan peneletian untuk mengumpulkan sampel dulu, tapi jujur gue nggak setuju dengan pemikiran yang dia anut itu." Semprot Indri, yang di iyakan oleh Nadia.

"Kenapa elo nggak setuju?" Tanya gue penasaran.

"Apa yang elo katakan tadi menjadi tim perumus kebijakan pemerintah, yeah meskipun itu hanya lelucon ya, menurut gue tidak seolah-olah dapat dengan mudah menyelesaikan permasalahan yang ada di masyarakat, terlepas dari sampel-sampel yang elo miliki harusnya seperti ini dan itu. Karena berdasarkan ketua parpol yang gue wawancarai mengatakan bahwa sebenarnya ada banyak kebijakan-kebijakan yang dianggap baik versi tim perumus, belum tentu tepat bagi kalangan DPR yang mengujinya. Jadi, saran  dari gue sih kata elo tadi lebih baik sambilan aja dipikir-pikir out put dari penelitian-penelitian yang elo buat."

Gue menerima kritik dan saran dari apa yang mereka sampaikan, toh ada benarnya juga. Yeah, pada akhirnya gue harus kembali mengevaluasi arah melakukan penelitian. Sebenarnya ada banyak hal yang kami bahas, tak terasa diskusi kami berlangsung empat jam lebih cuy! Jadi, beberapa pembahasan yang gue anggap privat atau tidak penting-penting banget sengaja dieliminasi biar tidak panjang banget nih tulisan. 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement