Hari ke Sembilan Puluh Sembilan Ngampus

Foto sebagai pelengkap 
"Ada pepatah yang mengatakan, ketika kita stak di zona nyaman kesuksesan susah didapat. Sebaliknya ketika kita bodo amat dengan rasa sakit, capek, bahkan sampai menangis sekalipun yang penting cita-cita dapat kita capai, maka percayalah Tuhan akan mempermudahnya." Kata Ibu kemarin, menasehati gue ketika mau berangkat ngampus.

"Naik ojeg aja tuh di depan, elo jangan jalan kaki. Palingan bayar goceng." Kata kakak gue memberi saran.

"Jangan naik ojeg, jalan kaki aja dah, dekat kok sekitar satu kilo doang, lebay amat. Biar kamu tidak manja. Dikit-dikit nuntut fasilitas, padahal 70 persen buat gaya. Ingat kata Ibu, tampil apa adanya yah. Berjuang itu tidak ada yang mudah, semua butuh proses, ini adalah bukti kamu beproses totalitas, bukan hanya sebatas ingin saja." Cegah Ibu, dan lagi-lagi memberi nasehat.

"Oke calm." Jawab gue santai, lalu pamit undur diri.

Gue tahu Ibu merasa Iba, tapi itulah didikannya keras, dan manjur membuat gue tetap teguh. Terlepas dari itu, gue berjalan sambil mikir, apa yang sudah gue dapat di kampus? Apa yang dapat gue banggakan? Sia-sia keluar uang banyak hanya haha-hihi doang di kampus. Tidak, gue harus memutus rantai kebudayaan buruk ini biar tidak menyesal di akhir nanti.

Kemarin pagi, gue bangun awal biar nggak ketinggalan zoom. Berdasarkan informasi yang gue dapat dari penanggung jawab mata kuliah, pembelajaran dilaksanakan secara online. Pukul delapan tidak ada tanda-tanda pembelajaran di mulai, lama menunggu akhirnya dosen menjawab di grup, nanti dimulainya pukul sembilan aja. Gue matikan data, dan kembali tidur ke kamar haha. 

Pukul sembilan lewat berapa menit tuh gue lupa, mata kuliah dimulai. Tidak ada pembelajaran, hanya laporan persiapan acara praktikum dari BPH pelaksana. Ada satu hal yang membuat Dosen tidak senang dengan keputusan yang dipaparkan oleh BPH. Yaitu, paket out bound yang tadinya sepakat 160 k bebas 6 jam, diganti menjadi 110 k bebas 4 jam. 

"Kemarin bukankah kita sepakat untuk mengambil yang 160 k? Kenapa sekarang tiba-tiba berubah menjadi 110. Oke kalau begitu saya mau tanya. Apa rasionalisasinya teman-teman mengambil yang paket 110? Dan siapa yang mengajukannya, saya ingin tahu orangnya?" Tanya Dosen mulai mencecar.

Di grup kelas mulai ramai, pada bilang bantuin BPH euy, tapi kenyatannya hanya satu orang yang speak up, yaitu ketua kelas. Sedangkan gue dan teman-teman yang lain hanya diam. Kenapa gue diam? Pertama gue lagi lazy ngomong. Kedua, gue nggak tahu perihal ini, karena jarang mengikuti perkembangan informasi, kumpulan pun hanya iya-iya aja. Nggak tahu kenapa akhir-akhir ini gue berubah, gue nggak mau yang ribet-ribet. Yeah, hanya ingin yang praktis dan efesien. 

Mata kuliah kedua akan dimulai antara pukul 12.00 WIB atau pukul 11.00 WIB. Gue tepak jidat ketika beredar informasi mata kuliah jadinya pukul 11.00 WIB. Waktu tersisa satu jam lagi, posisi gue belum siap-siap makan dan shalat. Yah, sudah pasti gue akan telat nih, dan kalo telat nggak bakalan diizinkan masuk meskipun hanya telat lima menit doang, soalnya Dosennya disiplin banget tingkat dewa. 

Gue persiapan dengan santai aja kayak nggak ada beban. Karena yang pertama gue pasti bakalan telat. Kedua, berdasarkan informasi yang gue dapat di grup kelas katanya tiga kelas bakalan di gabung, insting gue mengatakan pasti nggak bakalan belajar dah, yeah hanya sosialisasi soal praktikum ke Bandung, sekalian di gabung sama praktikum out bound. Katanya juga sih, dosen akan masuk satu jam doang. Top sudah gue yakin dengan insting sendiri bahwa tidak ada pembelajaran, jadi santai dulu nggak sih wkwk. 

Pukul sepuluh lewat berapa tuh, gue berangkat ke kampus jalan kaki karena motor sedang dipakai belanja. Diiringi doa Ibu yang menyertai sambil menatap iba yang penuh kasih, gue berjalan dengan gagah bak pria gentelman. Ditambah headset bluetooth di telinga gue menambah daya semangat naik, lupakan rasa capek, lupakan panasnya matahari yang menyengat hingga mengeluarkan keringat, inilah waktunya kita cosplay menjadi duta inspirasi bagi diri sendiri.

Disepanjang jalan, seperti biasa hati gue, pikiran gue ramai berdebat tentang apa yang dilihat, dibaca dan didengar. 

Hati pertama : Sudah gue bilang kan, jalan kayak begini tuh capek bat dah. Omong kosong jadi duta inspirasi, kalo tubuh ini butuh motivasi dan support dari si dia.

Hati kedua : Woi, diam! Bacot mulu loh. Ingat co! Berdasarkan buku novel yang kita baca kemarin.

Hati pertama : Novel apa tuh Raju? Haha

Hati kedua : Novel Janji karya Tere Liye, bang Messi haha. Btw! Lo jangan motong dulu bangsat kalo gue lagi speak up! Lo kira ini lagi lomba debat apah!

Hati pertama : Wih, calm bang Messi. 

Hati kedua : Okay gue toleransi. Jadi salah satu pesan di novel tersebut adalah, 'Dalam situasi apa pun kita bisa memilih antara harus marah atau sabar. Ingkar atau bersyukur. Bahkan meskipun situasi tersebut menyakitkan, pasti ada kebaikkannya. Orang-orang yang sabar dan bersyukur lebih mengingat hal-hal baiknya kebanding yang menyakitkannya' itu artinya apa, kita sekarang sedang mengimplementasikannya sekarang. Apakah sakit? Yeah. Apakah capek? Yeah. Kita bisa memilih antara marah atau bersabar. Tapi bagi gue, lebih baik bersabar, toh lagian jalan kaki yang sedang kita lakukan ini banyak manfaaatnya yang tiada tara cuman gue lazy menyampaikannya. 

Hati pertama : Wih! IS THE BEST! Banget bang Messi nih! Kata-katanya begitu bijak melebihi Mario Teguh haha.

Hati kedua : Buset, lo muji atau menghina! 

Pikiran : Udah-udah, bacot mulu kalian, lo kira ini lagi debat Capres - Cawapres apa. But, gue setuju dengan apa yang disampaikan Bang Messi tadi hahah. Kocak nih si Raju asal ngasih nama aja. 

Hati pertama : Woi Bang! Nama gue bukan Raju!

Hati Kedua : Nama gue juga Bang Messi. 

Pikiran : Yaelah, hanya sekedar nama doang. Lagian kalo nama elo harus resmi, repot co! Harus selamatanlah, potong kerbau atau kambing buat selamatanlah! Setiap harus tiup lilinlah, buat ngepet hahaha.

Hati pertama : Woi Bang! Lo kira gue Babi ngepet. 

Hati kedua : Iya benar. Tahu gitu gue mendingan jadi Bang Messi.

Hati pertama : Gue juga mendingan jadi Raju. Meskipun gue nggak tahu, siapa dia!

Pikiran : Haha! Kocak juga yah dua-duanya yang goblok ini. 

Hati kedua : Elo meledek mulu dari tadi. Gue laporin loh, ke kejaksaan tertinggi biar kena hukum.

Hati pertama : Gue setuju dengan usulan itu. Tapi kejaksaan tinggi mana nih, Bang Messi? 

Pikiran : Ke MK aja sono. Palingan gue yang menang, kan kemarin udah kebobolan hahaha. Lagian elo tuh pada goblok sih, kita ini tiga komponen yang tidak bisa terpisahkan. Antara hati, pikiran dan perkataan harus selaras biar tindakan yang dilakukan tidak melewati batas. 

Gue hanya tertawa dengan skenario yang gue buat sendiri. Lumayan terhibur. Esok lusa nanti kalo ada yang bilang, gue itu goblok orangnya! Yeah, gue menerima karena ini buktinya. Esok lusa nanti, kalo ada yang bilang gue itu absurd! Yeah, ini buktinya. Esok lusa nanti, kalo ada yang bilang gue Crazy, bodoh lagi, ini buktinya. Bodo amat. Gue lebih senang sekaligus terhibur dengan skenario konyol ini, kayak nggak dibuat-buat gitu, murni. Dari pada haha- hihi ngikuti kata orang, tapi dirinya diabaikan begitu saja. 

Nggak apa-apa kumpulan, itu bagus biar haha-hihinya lebih seru. Tapi ingat batas. Sama juga halnya sibuk dengan diri sendiri itu nggak apa-apa, tapi ingat batas biar tidak tercetak menjadi manusia yang egois, pandangan terhadap kehidupan orang lain selalu subjektif, kebanding objektif.

Ada banyak hal yang gue dapatkan diperjalanan kali ini selain dapat doa orang-orang yang gue lewati. Yaitu, teori soal keyakinan. Peluang gue untuk tidak telat adalah 1 persen, karena bisa jadi Mata Kuliah di mulainya jam 12.00 WIB. Sedangkan kegagalannya 99 persen. Elo bayangin Co, orang goblok mana yang rela luangin waktu, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya hanya untuk mengejar 1 persen keyakinan untuk menang. 

Gue bukan pesimis tapi ngerasa goblok sekalgus konyol aja, bisa-bisanya tetap optimis dengan kemungkinan 99 persen gagal. Gue pasrah se-pasrahnya kepada Tuhan. Maka dari itu, dari perjalanan Rumah sampai ke kampus gue nggak buka WA, biar merasa santai aja gitu. 

Dari teori keyakinan yang selintas itu, gue punya pandangan baru lagi. Bahwa untuk ke depan, gue ketika berusaha melakukan sesuatu harus mikir peluang gue untuk sukses hanya 1 persen doang. Lengah dikit, gue bakalan gagal karena secara nominal lebih dominan gagal. Oleh karena itu, gue harus fokus berusaha agar peluang 1 persen dapat mengalahkan kegagalan yang 99 persen. 

Satu persen, artinya adalah usaha kita. Di situ langkah kita diuji, tujuan kita diuji, kesabaran kita diuji dan lain-lain, semakin yakin dengan kesempatan satu persen, angkanya akan bertambah. Kalo gagal bagaimana? Wajarlah, kan namanya juga lagi belajar, anggap aja baru pemanasan. 

Sembilan puluh sembilan persen, artinya kegagalan. Dan cara pandang kita terhadap kegagalan jangan pesimis, tapi optimis. Karena, pertama dia sebagai pembelajaran. Kedua, sebagai ujian seberapa ingin kita akan hal itu tercapai. Ketiga, perjalanan gagal, misal gue gagal satu kali berarti ada sisa sembilan puluh delapan gue akan gagal lagi. Terakhir, Tuhan sedang merencanakan yang lebih baik dari yang gue lakukan. Jadi, terus berproses tanpa takut gagal, karena runtuhnya bangunan karena jarang disentuh. 

Tuhan akan selalu memberikan pelajaran bagi kita setiap harinya. Hal itu bisa bermacam-macam cabang. Cuman kadang, kita saja yang terlalu merasa pintar, sehingga menganggap hal itu sebatas iklan.

Lakukanlah banyak kegagalan, semakin kita gagal, peluang untuk sukses terbuka lebar.

Semakin sering kita gagal, maka kita akan gatal. Yeah, gatal untuk terus melanjutkan sehingga menjadi lebih baik setiap harinya. Atau menghindari gatal itu sehingga tidak merasakan dampak apa-apa.

Sesampainya di kampus, gue membuka WA, ternyata mata kuliah belum dimulai. Alhamdulillah. Apa respon gue pada waktu itu? Biasa aja. Kalo ditanya gue senang nggak? Ya senanglah, tapi biasa aja gitu. Ternyata yang 1 persen sukses dapat mengalahkan 99 persen kegagalan kalau kita yakin, dan terus berproses apa pun itu hasilnya. 

Dosen masuk jam 12 lewat, tentu gue nggak telat dong. Benar dengan insting gue, tidak ada pembelajaran hanya sosialisasi soal praktikum. Wow! Fantastis sekali bukan? Hari ini gue mendapatkan dua keberuntungan dari 99 persen kemungkinan gagal. Gue semakin yakin dengan teori selintas itu, okay karena sudah bereksperiment tadi hasilnya sukses, jadi sudah teruji, gue tinggal jadikan boleh dong gue memperaktekannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Pulang dari kumpulan, gue langsung shalat dzuhur. Kemudian pergi ke perpus untuk mengembalikan buku sekaligus membayar denda. Gue membaca doa dulu karena kemarin pas peminjaman buku ada kesalahan administrasi. Permasalahannya sepele, gue kan membawa empat buku. Yaitu dua buku yang akan dikembalikan dengan dua buku yang akan dipinjam. Harusnya petugas perpus menulis tanda minjamnya di buku yang akan gue pinjam, ini sebalilnya. Karena gue nggak tahu apa-apa, ya gue bawa aja. Kemarin ketika gue mau melihat denda di laman perpus, buset antara buku yang gue pinjam dengan buku yang ada di program komputer keliru. So, gue harus siap-siap speak up takut disalahkan, kan gue nggak tahu apa-apa yah. 

Pas gue masuk, penjaga perpus kemarin nggak ada. Yang ada hanyalah penjaga perpus yang lain, terkenal maaf yah judes bat dah. Gue menenangkan hati biar pas speak up tidak kebawa emosi. Okay, gue bicara baik-baik, kemudian dia tertawa ada kesalahan sistem. Splash! Serasa mimpi sekali, penjaga perpus begitu ramah tidak seperti biasanya. Ada apa ini? Kurang tahu gue, yang penting masalah ini kelar. 

Tadinya gue mau langsung pulang, tapi langit begitu gelap tanda akan turun hujan, yeah hujan memang sudah turun, jadi gue balik arah mencari kelas yang kosong, dan belajar sepuasnya di sana.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement