Dibalik Cinta Sejati, Tersimpan Luka Yang Pahit

Gambar hasil editan sendiri
"Elo tetap mau bertahan dengan hubungan yang sudah berujung tanduk ini?" Tanya gue kepada Siska (nama samaran) setelah panjang lebar cerita. 

Ia diam sejenak, menarik nafas dengan berat, lalu tersenyum. 

"Okay, gue nggak bisa larang itu. Elo yang mengambil keputusan, maka terima resikonya." 

"Sejujurnya gue mau pergi, tapi berat rasanya. Gue percaya kok dia pasti berubah. Elo mungkin tahu, bila seseorang benar-benar cinta seburuk dan sesakit apa pun perlakuan pasangannya, ia akan tetap bertahan. Karena yang dia lihat bukan orangnya, tapi cintanya." Ucapnya dengan tulus.

Gue yang mendengarnya hanya tersenyum. Cinta... yeah membutakan tapi terkandung makna yang dalam, konon katanya hanya orang-orang yang sudah menjalin hubungan paham mengapa banyak muda-mudi yang sering brutal untuk urusan cinta. 

Bicara soal cinta, yeah sudah tak asing di telinga kita. Mendengar curhatan teman gue yang begitu pilu perihal perasaannya, hati gue menjadi dua kubu. Kayak mau pemilu aja dah wkwk. Kubu pertama mengatakan dengan bijak, bahwa itulah cinta. Semakin dalam rasanya maka akan semakin dalam juga lukanya. Sedangkan kubu kedua mengatakan bahwa perbuatan itu lebay, padahal biasa aja sih. 

Secara objektif, gue memandangnya itu hal yang lumrah. Tetapi secara subjektif gue memandangnya itu terlalu berlebihan. Mengapa? Karena buat apa bertahan bila pada akhirnya meninggalkan, karena buat apa bertahan bila pada akhirnya tidak merasakan rasa cinta itu sendiri, kan begitu.

Tetapi bagaimana pun juga, itulah Cinta. Sebijak apa pun kita, sekaya apa pun kita, sehebat apa pun kita, bila cinta sudah datang, kita akan menjadi gila olehnya. Nggak percaya? Ya udah. 

Bila seseorang benar-benar cinta, seburuk dan sesakit apa pun perlakuan pasangannya, ia akan tetap bertahan. Karena yang dia lihat bukan orangnya, tapi cintanya.

Kata yang disampaikan oleh teman gue, setelah dipikir-pikir ada benarnya juga. Bila dia benar-benar cinta sama kita, apa pun yang kita lakukan selagi tidak bertentangan dengan hukum berlaku, ya biasa aja. Jadi lebih apa adanya kebanding ada apanya. Bukan berati nggak ada apanya, tetapi lebih dominan ke apa adanya. Ya kali kita menjalin hubungan tidak ada apanya, pasti ada dong. Kita ingin bahagia, teman ngobrol, dikasih effort dan macam-macam lainnya. Normal nggak itu? Ya, normal kalau nggak berlebihan mah. 

Yang nggak normal itu adalah, jarang memberi kasih tetapi hanya ingin diberi kasih, sekalinya nggak dikasih merasa paling sedih. Lah, dia kira pasangannya Power Bank. Dia juga manusia, sama sepertimu kisana, maka antara memberi dan menerima harus balance. Begitulah kira-kira.

Kadang gue miris melihat teman-teman gue yang biasanya tegar, tertawa lebar-lebar, tiba-tiba menjadi pendiam kayak banyak beban. Pas gue tanya kenapa? Dia jawab lapar, belum makan seharian Hahaha. Bukan itu, tapi dia murung karena ada masalah sama pasangannya, ingin selalu diberi effort padahal dia juga lagi butuh effort. Lah, gue kan menilainya jadi repot, siapa yang salah? Mepet-mepet gue palingan saranin buat nge-deposit, bukan buat main slot hahaha, astagfirullah. Tapi untuk mengajak pasangannya berjalan sambil belanja. Udah kelar. Cuman minusnya uangnya itu hasil slot hahaha, anjay dah.

Dibalik cinta sejati, tersimpan luka yang pahit. Kenapa? Karena semakin kita mencintai, semakin kita terluka. Contohnya saat dia nggak ada kabar, mulai panik, ke mana dia? Ada apa dengan dia kok tiba-tiba nggak ada kabar? Dan seterusnya. Padahal kenyatannya dia lagi menyusun proposal acara, boro-boro megang hp, wong pikirannya kalut kena revisian mulu. 

Cinta tanpa luka, itu dusta.

Gue teringat dengan apa yang disampaikan oleh Dr. Fahrudin Faiz dalam kajiannya, ia memgatakan bahwa, semakin kita mencintai maka kita tidak akan menjadi diri sendiri. Gimana mau menjadi diri sendiri, wong setiap saat harus mengikuti apa yang dia suka, apa yang dia inginkan dan apa yang sering dia lakukan. Berbeda sedikit dengan apa yang dia lakukan, maaf kamu bukan standarku, kata si dia. 

Cinta itu butuh pengorbanan yang  bermacam-macam hal, bisa tenaga, pikiran dan lain-lain. Semua itu adalah bentuk cinta. Apakah itu menyakitkan? Tentu kisana. Tetapi dari rasa sakit itu kalah rasanya dengan cinta itu sendiri

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement