Ilmu itu adalah cahaya yang menerangi kita akan kegelapan dunia yang luas ini. Menurut Ibnu Qoyyim Al-Jawziyah, ilmu itu seperti sumber air, ketika kita sering mengambilnya (diamalkan) maka air tersebut akan keluar dengan deras, dan ilmu itu setiap hari bertambah-tambah tidak stak di situ saja.
Hakikat pendidikan islam dalam kecamata Ibnu Qoyyim ada dua, yaitu: Tarbiyah qolb (pendidikan hati), dan tarbiyah badan sekaligus. Antara hati dan badan keduanya membutuhkan tarbiyah, bukan hanya salah satu saja. Pendidikan hati maksudnya adalah, di mana ketika kita mendapatkan ilmu harus dipahami dulu dengan kongkrit agar ilmu itu menyatu dalam diri kita, dengan cara diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Baru setelah itu masuk ke fase selanjutnya, tarbiyah badan sekaligus, yaitu bukan hanya mengamalkan saja melainkan juga menyampaikannya kepada orang lain.
Dewasa ini, realitas sosial tidak seperti itu. Ketika mendapatkan ilmu bukannya dikaji lebih dalam lagi agar bermanfaat bagi dirinya sebelum disampaikan kepada orang lain, ini hanya dibiarkan saja, akhirnya apa yang terjadi? Ilmu itu tidak menuntunnya kepada jalan kebaikkan. Naujubillah. Padahal Ibnu Qoyyim mengatakan bahwa, ilmu itu harus sering-sering diamalkan dan disampaikan kepada orang lain, agar terus bertambah-bertambah setiap saat. Bila kita konsisten melakukannya, maka akan mendapatkan pintu-pintu rahasia (pengetahuan baru) yang tidak terduga.
Kemarin, ketika di akhir sesi kursus kami diberi tugas untuk menjadi seorang pengajar dengan gaya dan kemampuan masing-masing. Setiap peserta diberi satu gulungan kertas yang di dalamnya berisi materi. Gue beruntung pada waktu itu kebagian materi yang membahas tentang, Pengantar Leadership. Jadi, santai dulu nggak sih wkwk.
Dengan persiapan yang terbatas, kami pun bisa menyelesaikan tugas itu. Meskipun banyak sekali yang harus dievaluasi untuk perbaikan ke depan. Rata-rata permasalahannya adalah belum mahirnya mengendalikkan para peserta untuk nyaman dalam proses pembelajaran, yeah namanya juga lagi belajar yah, jadi wajar saja.
Setelah selesai pengujian itu, gue mikir betapa masih bodohnya gue dalam berbagai bidang. Publik speaker dan kepenulisan yang gue anggap sudah mumpuni, tenyata belum ada apa-apanya. Yeah, gue bersyukur menyadari hal ini, berarti gue harus meng-upgrade lagi keduanya biar tidak stak di situ saja. Kerja keras gue selama ini bukan sia-sia, melainkan perlu ditingkatkan lagi.
Gue baru mengerti apa yang disampaikan oleh Ibnu Qoyyim yang mengatakan bahwa, bila kita sering mengamalkan ilmu dan menyampaikannya, maka ilmu itu akan terus bertambah sehingga membuka pintu-pintu rahasia yang tak terduga.
Kalimat 'pintu-pintu rahasia' yang dimaksud oleh Ibnu Qoyyim benar-benar gue alami pada saat itu. Yeah, di pintu rahasia gue mendapatkan cambukkan untuk tetap konsisten belajar agar bisa bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Dr. Fahrudin Faiz pernah berkata, hakikatnya mengajar adalah belajar antara kita dan murid. Keduanya mempunyai feed back yang baik ke diri masing-masing. Tentunya kata 'mengajar' di sini kita maknai multitafsir. Maka apa alasan kita untuk tidak menyebarluaskan ilmu yang didapat? Wallhu'alam.
0 Komentar