Hari Ke Enam Puluh Tujuh Ngampus

Suasana kelas gedung CC
Hari perdana masuk kampus setelah kemarin gagal masuk karena kesiangan membuat semangat 45 gue buat belajar semakin membara. Yeah, kali ini harus masuk pokoknya. Kemarin kesalahan gue adalah setelah shalaf Shubuh tidur lagi, untuk sekarang gue juga tidur sih wkwk, tapi pakai alarm biar tidak bablas lagi. 

Berangkat setengah tujuh membuat gue yakin nggak bakalan datang telat, dan ternyata itu benar, pas banget! No more, no less. Ketika gue masuk kelas, teman-teman gue pada antusias.

"Wihh!! Akhirnya elo come back!"

"Buset! Baru datang ni orang."

"Masya Allah, co!" 

Gue menyikapi dengan santai sambil mendatangi mereka satu persatu untuk salim, yang ada dipikiran gue pada saat itu adalah, kan ini perdana, jadi harus kenalan dulu. Elo tahu apa yang gue rasakan? Gue kaku banget co! Kayak benaran mahasiswa baru masuk lingkungan baru. Bahkan setelah menyimpan tas di bangku, gue pura-pura keluar untuk mengendalikan diri dari rasa malu. Yeah, gue kaku dan malu banget, konyol emang. 

Apalagi pas gue salim ke anak baru, gue kan awalnya nggak tahu kalau di kelas ada anak baru, ya, salim-salim aja. Pas di bagian dia ini nih, antara gue dan dia sama-sama kikuk, sialnya kaki gue berat banget buat melangkah kayak diikat batu lima luluh kilo. Kepadanya gue hanya mengangguk sambil tersenyum, lalu melanjutkan ke yang lain. 

Dari teman-teman yang lain, gue sedikit dapat bocoran bahwa dia adalah pertukaran mahasiswa dari kampus lain, yang kebetulan mengambil satu mata kuliah di jurusan pendidikan non formal. Untuk lebih lengkapnya gue nggak tahu, malas aja gitu. Buat gue, minimal tahu permukaannya, untuk kedalamannya itu di luar urusan. Karena tujuan gue ke kampus buat belajar bukan cari bahan obrolan yang nggak bermanfaat. 

Mata kuliah pertama, Pekerja sosial dan pengembangan masyarakat diawali dengan presentasi dari teman-teman yang membahas tentang hakikat manusia. Sepanjang presentasi gue hanya diam, bahkan ketika sesi tanya jawab gue juga diam, bertolak belakang dengan apa yang sering gue lakukan ketika semester satu. Bukan gue malas sih, cuman sia-sia aja gitu gue berkoar-koar untuk menghidupkan suasana kelas agar diskusi berjalan dengan baik, tapi responnya apatis. Lebih baik gue diam, mencermati materi dengan konkrit kalah mau berpendapat gue nggak asal ngomong doang, berbobot dan berlandas. 

Selesai presentasi, Dosen membahas hakikat manusia secara luas, diawali dengan dua kalimat, homo homini lupus dan homo homini socios. Singkatnya, homini lupus itu antar manusia saling menerkam untuk kepentingan pribadi, sedangkan hominu socios sebaliknya, saling ketergantungan satu sama lain. 

Kita harus mempelajari tentang hakikat manusia, karena dalam dunia pendidikan merupakan upaya untuk mengembangkan peradaban manusia. Hakikat manusia tentunya dalam persepektif agama dan lain-lain tentunya mempunyai perbedaan, cuman secara garis umum dapat kita simpulkan bahwa semua manusia itu saling membutuhkan satu sama lain. Karena kita tidak bisa hidup sendirian di alam yang sangat luas ini. 

Ada empat dimensi hakikat manusia, yaitu:  dimensi keindividuan, dimensi kesosialan, dimensi kesusilaan dan dimensi keberagaman. Semuanya dikupas tuntas oleh Dosen dengan suasana belajar yang tidak mendukung. Kenapa gue bilang begitu? Karena ada dua unsur internal dan eksternal.

Unsur internalnya, teman-teman gue kayak ngga minat mengikuti pembelajaran. Bukannya dengerin pembahasan dosen, ini sibuk mainin hp, hanya segelintir orang yang memperhatikan. Maksud gue gini loh, ngapain elo ke kampus kalo ujung-ujungnya mainin hp, ya udah elo di rumah aja kalo kayak gitu mah. Hal inilah yang menghambat sesi diskusi tidak berjalan efektif, efeknya semuanya buyar, sia-sialah belajar. Kecuali, dia benar-benar memperhatikan materi dengan seksama. 

Berada di posisi tersebut, gue rindu dengan sistem pembelajaran di organisasi PII. Yeah, di tempat pelatihan kemarin, ketika ada materi langsung dikupas lebih dalam sehingga semuanya mengerti, minimal dia tahu maksudnya apa. Tapi gue tepis kerinduan itu, sekarang gue berada di posisi yang tidak mendukung, maka gue harus bersikap yang bijak, agar tidak ikut-ikutan. 

Unsur eksternalnya adalah, di luar pada ribut banget dah kayak di pasar aja. Hal ini mengganggu kefokusan belajar. Teman-teman gue saling tunjuk untuk keluar memberitahu yang ribut karena kami sedang belajar. Semuanya diam tidak ada yang berani, gue juga sengaja diam. Tanpa disuruh, gue ancang-ancang berinisiatif keluar memberitahu biar tidak pada ribut.

Pas gue keluar, ternyata itu teman-teman gue yang beda kelas dan para kating yang baru keluar kelas. Tanpa rasa takut, gue menyuruh mereka buat diam, jangan berisik karena lagi ada yang belajar. Hasilnya untuk sementara sih aman nggak ribut-ribut amat, tapi setelah gue kembali masuk duduk di kursi, keributan kembali gaduh, arrrg!!

Kenapa sih mereka nggak mengerti bahwa tindakan mereka dapat menghambat proses pembelajaran? Kenapa sih mereka tidak peka terhadap orang yang belajar? Apa yang menghambat mereka untuk diam dan sadar bahwa itu pergerakan yang tidak baik? Entahlah. Gue menarik nafas untuk mengendalikkan diri dan mengambil hikmahnya bahwa suatu saat nanti prilaku tersebut harus gue hindari. Mungkin kasusnya sepele yah, tapi berdampak besar sekali. 

Mata kuliah kedua tentang moderasi beragama. Pembelajaran kembali diawali dengan presentasi yang membahas, Indonesia Bertauhid. Judulnya menarik, tapi pembahasannya tidak. Yeah, itu kata dosen bukan kata gue. Pas sesi menyampaikan pro - kontra antar kelompok, gue diam nggak mau berpendapat. Teman gue yang satu kelompok memaksa gue buat berpendapat karena dia kebingungan ketika menjelaskan mengapa memilih pro kebanding kontra, akhirnya gue pun mau nggak mau turun gunung. 

Perkiraan gue benar, ketika gue menyampaikan pendapat tidak ada yang memperhatikkan semuanya sibuk dengan hp-nya masing-masing, bahkan dosennya juga sama, arrrg!! Tapi gue sikapi dengan santai, bodo amatlah semuanya di luar kuasa gue. Lebih baik gue tetap fokus menyampaikan pendapat. 

Suasan belajar yang harusnya kondusif ini sebaliknya. Gue memang nggak terlalu berharap pembelajaran ideal, minimal adanya diskusi yang berjalan  bukan sibuk dengan aktifitas masing-masing. Kalau seperti ini terus pembelajarannya, rugi dong hanya haha-hihi setelah lulus baru bingung menentukan kompas hidup.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement