"Besok kita online atau offline ngampus?" Tanya gue kepada Yasya dan Mirza.
"Haha, besok itu hari Rabu atuh." Jawab Yasya yang disambut oleh Mirza dan Ibad ketawa juga. Sialan, bisa-bisanya gue salah menempatkan kata.
"Udah sih jangan terlalu kritis terhadap hal kecil, capek tahu." Kata gue.
"Lah, kan elo yang menciptakan budaya itu. Elo juga pusing apalagi kami, Co." Sanggah Mirza.
"Ya udah gini aja. Besok hari rabu, mk akan online atau offline?"
"Offline."
"Alhamdulillah berarti kita jangan ke kampus."
"Karena?" Tanya mereka penasaran
"Garis bawahi yah, besok itu offline berarti kita jangan ke kampus, kan offline dalam tanda kutip nggak aktif. Kecuali online, baru ke kampus. Gitu kan?"
Mereka diam sejenak mencerna apa yang gue sampaikan. Kemudian tertawa setelah memahaminya.
Hari ke tujuh puluh satu, mata kuliah ada tiga yaitu: Penyuluh Masyarakat, Ekonomi Kreatif dan Ekonomi Kerakyatan, Analisis Gender dan Pendidikan Keluarga. Proses pembelajarannya satu offline, sisanya online.
Mata kuliah pertama yang seharusnya dimulai Pagi secara sepihak dipindahkan dimulai malam pukul setengah sembilan. Buset! Gue baru ngeh tadi harusnya gue protes kenapa secara sepihak jadwalnya dipindahkan? Memangnya belajar malam itu efektif? Lain kali ajalah gue protes. Bukan apa-apa, kita kan sebagai mahasiswa mempunyai hak untuk berpendapat, jadi ngapain takut.
Mata kuliah kedua dimulai pukul sepuluh, pembahasannya ringan dan sebagian mengulas materi sebelumnya yang nggak gue ketahui karena tahu sendirilah kemarin-kemarin gue dispensasi dari mata kuliah ini.
Mata kuliah ketiga dilaksanakan secara offline, sebenarnya jujur gue merasa percuma jauh-jauh ke kampus hanya ada satu mata kuliah doang, kayak gimana gitu. Mana hanya dengerin presentasi doang lagi nggak ada sesi diskusi berlanjut yang benar-benar pembahasan itu final.
Presentasi yang dibahas point besarnya adalah tentang child free. Ada beberapa alasan mengapa ada segolongan orang yang child free, diantaranya: Faktor keluarga, faktor kesehatan badan, faktor ekonomi dan lain-lain.
Selesai mata kuliah teman-teman yang lain pada sibuk persiapan bukber. Yeah, gue memang nggak bisa ikut karena ada hal lain yang harus diurus. Salah satunya sih tidak dapat izin dari Ibu. Sebenarnya bisa aja sih kalo gue paksakan untuk ikut, tapi karena gue malas pulang malam, ya udah lain kali aja dah.
Gue pulang seperti biasa naik angkot, dari Sempu turun di Palima kemudian naik angkutan umum lagi. Ada satu hal yang membuat mengganjal dalam hati gue kali ini, yaitu supir angkot meminta ongkos tambah. Biasanya gue memberi ongkos tujuh ribu diterima aja tuh karena ya, memang segitu. Ini malah minta sepuluh ribu co! Bayangkan, bisa-bisanya mengambil kesempatan.
Tadinya gue mau mendebat dengan gaya biasanya, kalo gue itu mahasiswa bukan masuk ke bagian penumpang umum. Karena berdasarkan informasi yang gue dapat dari Dishub untuk ongkos pelajar itu setengah persen dari ongkos penumpang umum. Jadi jelas, gue boleh dong bayar setengahnya. Seharunya dari Palima sampai k tempat tujuan gue bayar lima ribu, bukan tuju ribu. Nah ini? Udah gue tambah dua ribu malah minta lagi, kan parah.
Tapi gue nggak mau mendebat. Bukan karena gue lagi puasa atau dianggap pelit dengan uang segitu, bodo amat orang lain berpandangan apa. Gue mikirnya ya udahlah anggap aja gue sedekah, lain kali awas aja! Wkwk. Bukan apa-apa yah, ini hukum sepele yang harus kita terapkan, kalo dibarin nantinya kurang hajar berlaku semena-mena. Dan kalo gue diam aja melihat masalah ini, berarti status gue sebagai mahasiswa dipertanyakan! Wallahu'alam.
0 Komentar