Nilai Ipk Vs Nilai kemanusiaan

"Kadang kita terlalu fokus gila-gilaan ngejar nilai IPK tinggi. Tapi lupa mencari dan meningkatkan kecerdasan realisionship, padahal itu sangat penting." Kata Dosen menasehati.

"Iya benar pak." 

"Ambil kesempatan yang kamu tadi sampaikan, bapak sangat support. Dan tentunya pasti ada resikonya. Tapi jangan takut selama tujuannya tulus untuk belajar akan selalu ada jalan." Katanya lagi yang membuat kebingungan gue selama ini pudar. 

"Siap pak." 

Tadi Pagi gue ke kampus untuk tanda tangan kontrak mata kuliah dengan Dosen pembimbing sekalian mau izin libur ngampus karena bentrok dengan acara pelatihan organisasi Se-nasional. 

Akhir-akhir ini gue bingung dengan tiga pilihan. Yaitu, ngampus, ikut pelatihan, dan kerja. Ketiganya itu sama-sama menguntungkan gue harus berpikir matang-matang sebelum mengambil keputusan, mana yang harus diprioritaskan. 

Soal kerja sebenarnya aman sih. Tapi soal pelatihan kepemimpinan organisasi ini nggak aman. Elo bayangin Co, acara ini event nasional kita harus ikut seleksi dulu, otomatis harus persiapan dong. Masalahnya adalah gimana gue mau fokus persiapan kalo kerja? Yeah, begitulah. Gue nggak menyalahkan kerja, toh lagian itu pilihan gue. Tinggal kembali lagi kepada diri gue, mau tetap melanjutkan ikut seleksi pelatihan dengan segala keterbatasan atau ya udah nyerah kepada keadaan dan fokus ke yang lain? Gue pilih tetap lanjut meskipun menurut gue gila banget, lumayanlah tantangan wkwk. 

Kalo soal ngampus aman-aman aja nggak ada kendala apa-apa, bahkan gue udah siap-siap tancap gas mau ngapain aja nanti. Yeah, itulah kebingungan yang kemarin-kemarin memenuhi isi kepala. Menanggapi hal ini sih gue senang, menantang aja gitu membuat gue harus mikir dewasa mana yang harus diprioritaskan. 

Dosen pembimbing hanya pesan satu doang pas tanda tangan kontrak, jangan sampai nilai Ipk turun. Nggak tahu dah kenapa, gue paling malas bahas nilai ipk, asyikkan bahas nilai moral atau bahas si dia wkwk.

Bicara soal nilai Ipk, banyak sekali orang-orang yang ngeluh bila mendapatkan nilai yang tidak sesuai ekspetasi. Padahal dalam kecamata gue, buat apa sih ngeluh, apa spesialnya dapat nilai tinggi kalo nilai kemanusiaannya rendah, anjay. Kecuali nilai ipk dan nilai kemanusiaannya seimbang itu baru bagus. 

Gue nggak kaget mendapatkan nilai rendah padahal dalam pandangan teman-teman nih yah, gue ambis selalu aktif sana - sini tapi kok nilainya kecil. Lah, justru gue kaget mereka punya pikiran kayak gitu. Tujuan gue kuliah bukan untuk mendapatkan nilai Ipk, jauh dari itu untuk menambah wawasan dan pengalaman agar kelak bisa bermanfaat bagi orang-orang, termasuk keluarga kecil gue contohnya nanti haha. Kadang gue aneh sama diri sendiri, aneh yah? Gue kok bisa aneh sama diri sendiri, iya aja kalo orang lain. Gue aneh karena nggak mau terpaku kepada nilai ipk, bukan gue menyepelekan toh gue juga berusaha kok, tapi beda gitu. Meminjam kata Ust Adi Hidayat, ngapain takut kan kita punya Allah yang Maha Kaya. 

Dalam pandangan gue, orang-orang takut dapat nilai kecil karena akan mengancam masa depannya buat masuk kerja. Semakin nilai Ipk nya tinggi akan terjamin masa depannya. Lah, emang iyah? Wallahu'alam. Menurut gue pemikiran kayak gini keliru, toh masa depan kan abstrak tugas kita hanya bersiap siaga aja sambil merencanakan, selebihnya kembalikan kepada-Nya.

Ada pepatah yang mengatakan seperti ini:

Kemarin adalah masa lalu, besok adalah misteri. Dan sekarang adalah anugerah.

Yeah kurang lebih seperti itu. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Gus Baha, bahwa terkadang kita sebagai manusia suka bersikap berlebihan cemas akan kehidupan masa depan, padahal semuanya sudah diatur oleh-Nya. Contohnya, kita nggak tahu cara mengelola jantung, dan organ-organ dalaman tubuh, tahu-tahu hidup aja. Kita nggak bisa memilih lahir menjadi anak pejabat, kiyai atau yang terhormat, itu diluar kuasa kita, lantas mengapa kita bersikap so tahu. 

Makannya sekarang aliran stoa kembali booming. Salah satu ciri ajarannya adalah, kita tidak bisa mengendalikan apa yang berada di luar batas kemampuan kita, yang bisa dilakukan adalah bagaimana menyikapi hal itu. Bukan mempertanyakan kenapa harus terjadi. Kalo kita bebas milih mau lahir dari anak siapa, mungkin bakalan berbondong-bondong lahir dari rahim orang tua yang secara finansial cukup. Boleh aja sih, itu pilihan. Asalkan jangan mau lahir dari keputusan MK aja wkwk. 

Melihat hal ini jujur gue resah. Kenapa kita harus berlomba-lomba meningkatkan nilai Ipk tinggi tanpa dibarengi dengan meningkatkan nilai kemanusiaan. Kedua-duanya sama-sama penting harus diprioritaskan bukan salah satu doang. 

Coba kita perhatikan peristiwa yang sangat mencolok mata kewarasan kita sebagai manusia di pemilu 2024 ini, yang banyak kontroversinya dari awal. apa respon kita? Biasa saja atau resah? Kalo biasa saja, percuma dapat Ipk tinggi. Sebaliknya kalau resah meskipun nggak ada aksi yeah berarti sudah selangkah lebih maju. 

Bukalah cakrawala kita jangan melulu mengedepankan nilai Ipk toh sejatinya itu tidak menjamin masa depan. Kita juga harus fokus meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan agar menjalani hidup tidak asal dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan juga kepuasan diri yang fana.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement