Gue bangun pagi dengan penuh kebingungan, emosi gue masih stabil. Memang gue merasa kehilangan ayah, tapi ya biasa aja gitu nggak berlebihan. Perkiraan gue kemarin belum tepat bahwa tiga hari ke depan akan mengalami kesedihan nyatanya calm aja.
Gue berpikir mungkin jiwa gue tetap stabil stay calm karena dua hal. Pertama dari pandangan keluarga terutama Ibu yang tidak terlarut dalam kesedihanan, menanggapi kematian sebagai takdir, ya udah gitu se-hebat apa pun kita kalau sudah pada waktunya mati, ya mati.
Kedua, dari hasil tadabur alam kemarin di wisata leuwi bumi membuat pandangan gue terhadap alur kehidupan itu abstrak, kita hanya bisa menerima dan menempatkan segala sesuatu kepada tempatnya yang tepat.
Dua hal ini yang sedikit membuat gue tenang dengan kebingungan ini, mungkin untuk beberapa hari ke depan nanti akan ada jawaban yang lain, sehingga membuat kebingungan ini, ya udah gitu.
Di hari itu pagi-pagi gue sama paman mengambil kelapa buat bahan 'pais nten' pas nyari-nyari nggak ada, bahkan paman gue yang mengira kelapa yang diambil pas nyatanya nggak. Di sini gue mikir, betapa bodohnya gue dalam keterampilan panjat pohon, membedakan mana kelapa yang muda dan tua yang benar-benar pas buat diambil, dan terakhir mengupas kelapa dengan alat tajam biasanya disebut 'solempat' gue juga nggak bisa.
Paman mengerti ketidakmampuan gue dalam bidang itu, diam-diam gue meratapi diri atas kebodohan ini. Maka dari itu gue menganggap hal ini sebagai belajar buat ke depan. Menurut mata kuliah psikologi yang gue dapat di bangku kuliah, manusia akan bisa bila mau berlatih dengan serius dan konsisten. Yeah, gue harus berlatih perihal ini jangan hanya hebat di satu bidang doang.
Doktrinan keluarga gue sering melihat sesuatu itu ke depan, yeah depan gerbang haha. Seperti contohnya gue nggak bisa membelah kayu pada waktu itu dengan alat kampak.
"Gimana sih kamu nggak bisa, bayangin nanti posisi kamu sudah berkeluarga terus mertua menyuruh buat bantu belah kayu, dan kamu nggak bisa? Itu fatal. Mau ditaro di mana muka kamu." Kata Nenek pada waktu itu, yeah kurang lebih kayak gitu.
Almarhum kakek gue juga gitu, kalau gue minta bantuan buat belah kelapa hanya geleng-geleng kepala. Setelah gue renungi dalam-dalam iya juga yah keterampilan itu harus dikuasai karena itu akan memudahkan langkah ke depan.
Di waktu senggang gue sering review pembelajaran-pembelajaran yang gue dapat dari orang lain, keluarga, you tube, buku dan lain-lain, gue korelasikan semuanya buat dijadikan persiapan ke depan, toh kehidupan kan abstrak mau nggak mau dalam situasi apa pun harus siap, termasuk siap menjalani hidup bersama si dia contohnya haha, anjay juga.
Cuman memang dalam proses review materi itu gue kayak orang melamun atau bengong. Maka dari itu Bapak sering mewanti-wanti buat terus zikir dalam hati biar tidak kosong amat, nantinya ujungnya gue kesandingan lagi, iya aja kalau bersanding bersama si dia di pelaminan mah haha.
Siangnya sekitar pukul dua lewat teman-teman kampus pada datang, gue berterima kasih banget dah mereka udah jauh-jauh menyempatkan waktunya datang, gue nggak enak ngerepotin.
"Di sini tahlil jam berapa?" Tanya kating kepada gue.
"Dua kali a abis magrib sama abis isya."
"Ouh... dua kali, bedanya apa?" Tanya mereka penasaran
"Kalau abis magrib itu khusus anak muda, kalau abis isya khusus bapak-bapak yang sudah bau tanah." Jawab gue becanda yang membuat mereka ketawa, entahlah gue juga heran kenapa jiwa gue masih stabil malahan dalam obrolan banyak sekali gue selipkan candaan.
Mereka pulang setelah shalat ashar yeah, sekitar jam empat. Gue mikir ada si Najwa nih, kemarin kan pas wawancara perihal memaknai hidup dalam kecamatanya di akhir sesi gue lupa ngasih beng-beng, sekarang aja dah.
Gue ke dapur buat cari beng-beng di tumpukkan snack, yeah untuk dua hari warung di dapur di tutup dulu. Dan gue nggak menemukan beng-beng, di tas gue juga udah di kasih ke si Ari pas wawancara. Ngasih apa yah? Tanya gue dalam hati.
Ada beberapa pilihan yaitu, sari gandum, roma kelapa, time break dan nextar. Yah gue harus pilih yang mana? Gue pilih sari gandum, sebelum pergi mikir dulu ini filosfinya apa? Terus mata gue berpindah ke roma kelapa nggak dapat filosofinya apa. Time break juga sama. Terakhir tanpa berpikir panjang gue mengambil nextar dengan yakin bahwa dibalik ini ada filosofinya.
Sebelum ngasih gue basa-basi dulu sama Najwa, bahwa kemarin-kemarin rencana gue mau ke perpusda lagi. Cuman karena qodarullah keadaan kayak begini, ya udah di cansel dulu. Si Vanya yang dengar obrolan kami pun terpukau.
"Wow, produktif banget dah liburan elo, Co. Ajari gue dong." Ucapnya kepada gue atau entah kepada Najwa.
"Gue lagi belajar produktif kok, Van. Belajar aja sama Najwa, yah." Jawab gue jujur, yeah susah memang produktif di waktu liburan.
Mereka hanya menjawab tersenyum. Sebelum naik motor Najwa bilang kenapa hadiahnya Nextar, bukan beng-beng? Gue pun menjelaskan ya lagi abis hanya ada itu doang. Gue juga aneh sama Ibu, padahal kemarin-kemarin udah pesan buat gue wawancara ke orang-orang, eh, tetap aja jawabannya nanti aja dah beli ke yang lain dulu, menyikapi hal itu gue hanya ya udah.
"Itu siapa tadi?" Tanya kakak ipar gue setelah semuanya pergi.
"Teman kampus, a." Jawab gue santai.
"Bukan, itu yang dikasih nextar? Kamu gimana sih malah ngasih nextar atau beng-beng, berkelaslah co, kasih silverqueen kek." Sarannya.
"Ouh, itu teman lebih tepatnya sih patner belajar. Perihal nextar itu kan kemarin-kemarin abis wawancara biasanya dikasih beng-beng karena abis ya dikasih itu." Jawab gue apa adanya.
"Kenapa harus nextar? Kenapa nggak silverqueen?" Tanyanya menyudutkan, buset dah gue bingung jawabanya, harus diakalin nih.
"Ouh itu ada filosofinya a, 'next' artinya kan selanjutnya 'ar' artinya penambah, kalau disimpulkan berarti selanjutnya akan ada lagi."
"Wihh, boleh juga." Ucapnya puas sambil tersenyum.
(Soal filosofi nextar gue sedang proses matangkan lagi)
Tidak berhenti dari situ gue dibombardir dengan beberapa pertanyaan, termasuk apakah gue suka? Menanggapi hal itu gue hanya geleng-geleng kepala. Tapi gue mengatakan bahwa nanti juga kalo gue ada rasa pasti akan mengungkapkan tapi tidak ingin menggenggam dari pada hanya dipendam doang. Untuk hal ini gue nggak berharap lebih apalagi mikir ke sana ke mari, buat gue menjadi patner aja udah cukup. Lebih baik gue fokus belajar dan mencapai target-target yang telah dibuat.
Jam setengah enam ketika gue mau menulis, ada Mirza dan Ibad datang. Gue kaget bukan kepalang dengan kehadiran mereka, buset dah jauh-jauh dari Bogor - Jakarta datang ke sini.
Kami mengobrol banyak hal terkait kampus, liburan dan lain-lain. Kepada mereka gue bilang punya target ingin belajar ke kota tua setelah belajar ke museum multatuli di lebak.
"Pegang aja nih kartu kereta gue, co." Kata Ibad sambil menyerahkan kartu.
"Terus elo gimana, bad?" Tanya gue
"Dia mah punya banyak." Kata Mirza menimpali, yeah, ibad emang punya banyak.
Gue tersenyum puas, entah kenapa setelah kemarin tadabur di Curug Leuwi Bumi, gue ingin travelling ke berbagai tempat untuk belajar banyak hal, puas aja gitu. Apalagi kepergian Bapak membuat tekad gue makin bulat untuk terus belajar dan belajar. Yeah, gue harus memastikan dulu punya uang yang cukup buat berangkat ke sana, semoga diberi kelancaran.
Selain travelling gue juga lagi belajar manage keuangan. Pas gue tanya sama Mirza dia juga sama soalnya penting katanya. Salah satu caranya adalah kalau belum punya uang cukup, ya, di mulai dengan mental kita harus kaya dulu.
Mereka pulang jam delapan, gue berinisiatif setelah tahlil akan menulis. Tapi sampai larut malam itu tidak kesampaian karena harus mengobrol dengan Teman. Allahumma Sholli Ala Muhammad! Gue harus cansel lagi.
0 Komentar