"Kamu mau ke mana?" Tanya Ibu gue ketika gue nanya apakah tugas-tugas sudah kelar semua.
"Nggak, tenang aja kalau udah kelar semua mah." Jawab gue santai.
"Ya iyalah di mana-mana juga kalau udah beres mah tenang." Kata Emak sambil pergi membawa makanan.
Pagi-pagi gue sudah dibuat ketar-ketir oleh keadaan, yeah siang jam dua gue mau ikut acara dialog publik di kampus dan yang bikin gue terbebani adalah sudah janji sama patner buat ikut acara itu. Gue membayangkan kalau Emak nggak memberi izin, apa yang harus gue katakan kepada patner? Nggak apa-apa sih memang dia pasti bakalan mengerti. Yang bikin gue nggak enak itu, posisinya adalah gue yang ngajak. Dia orangnya sibuk terbukti balasan chatnya slow respon, dan dengan kesibukkan itu dia mau meluangkan waktu buat belajar bareng, itu suatu hal yang harus gue apresiasi dengan cara menghargai kehadirannya.
"Apa pun caranya gue harus bisa hadir di acara itu." Ucap gue dalam hati sambil berpikir mencari solusi.
Strategi pertama, gue bantu-bantu Emak beres-beres rumah, masak dan lain sebagainya. Ketika menggoreng tempe gue bersikap santai seolah-olah murni nggak punya maksud lain, tahu sendirilah Emak kalau melihat tingkah anaknya beda sedikit seperti bantu-bantu akan tahu bahwa dibalik itu ada maksud lain, dan kalau itu terjadi, misi gue bakalan gagal. Jadi, santai dulu nggak sih.
Strategi kedua, gue harus berbincang-bincang dengan Emak. Tentang apa aja, biasanya sih topik yang sering diangkat oleh Emak nasehat tentang kehidupan. Setelah suasana perbincangan yang tegang berubah menjadi tenang, sedikit demi sedikit gue selipkan tujuan gue mau ke kampus.
"Udah beres semua kan, Mak?" Tanya gue ke Emak.
"Udah, mau ke mana?" Tanya Emak balik.
"Mau ke kampus Mak, ada acara." Jawab gue jujur.
"Padahal pekerjaan masih ada, kampus juga masih libur, kenapa sih kamu selalu ngotot buat ke kampus." Semprot Emak seperti biasa.
Entahlah gue kadang merasa aneh, kenapa yah kalau di luar mata kuliah Emak selalu susah memberi izin. Gue harus memberi alasan yang berlandas dan konkrit, kalau nggak gitu sia-sia gue minta izin. Belakangan setelah gue pikir-pikir mengapa Emak jarang memberi Izin buat ke kampus di luar mata kuliah karena ada dua hal. Pertama, percuma hanya habisin duit dan waktu. Kedua, takut ikut pergaualan bebas yang sia-sia. Jadi solusinya lebih baik belajar di Rumah.
"Nggak sampai malam, Mak. Yeah, Sore juga udah selesai acaranya." Kata gue meyakinkan.
"Serius sampai Sore? Soalnya malam kan mau tahlilan loh?"
"Serius Mak, calm aja itu mah."
"Ya udah."
Ketika Emak mengatakan 'ya udah' gue merasa bahagia, yes! 80 % misi gue berjalan mulus. Tinggal gue berinisiatif beres-beres yang lain apa pun itu, jaga warunglah, ngajak main keponakan dan lain-lain.
Pas Dzuhur gue langsung Mandi dilanjut Shalat. Kemudian pukul satu siang, gue meluncurkan strategi ketiga yaitu, membeli kue Nextar di warung dengan alasan buat belajar di kampus. Yeah, target gue sih bisa mewawancarai tiga orang perihal memaknai hidup dalam kecamata mereka.
"Wa, elo di mana?" Tanya gue ke Patner sebelum berangkat.
"Ouh, masih di Rumah."
"Ya udah, gue nanti nunggu di Masjid kampus yah."
"Masjid kampus mana?"
Gue amati suaranya agak lain. Anjay ternyata suara Ibunya. Gue langsung istigfar! Nggak sopan amat tadi ngobrol sama orang yang lebih tua. Gue menarik nafas buat rileks kemudian melanjutkan obrolan bersama Ibunya.
"Itu tadi suara emak-emak, siapa?" Tanya kakak gue yang sedari tadi memperhatikan.
"Ouh itu, tadi nelpon teman buat ke kampus yang ngangkat ternyata Ibunya." Jawab gue santai.
"Temannya cewek gitu?" Tanyanya mendelik.
"Patner belajar."
"Serius?"
"Yeah." Jawab gue singkat sambil pura-pura sibuk mencari buku bacaan. Beruntungnya dia diam, gue pun tenang. Kalau uruan ini berujung kepada Emak, gue pasti bakalan dapat ceramah.
Gue berangkat jam satu Siang, yeah, cukuplah ke kampus dengan waktu satu jam. Teman gue chat katanya mau bareng nggak soalnya dia belum lancar total bawa Motor. Gue mikir sejenak boleh juga, kasihan dia kalau sendirian ke kampus dengan jalanan Baros - Serang yang padat.
Dia masih siap-siap, perkiraan gue jam setengah dua bakalan datang. Tapi belum juga kunjung, gue khawatir dia kenapa-kenapa di chat juga centang abu-abu doang, mungkin dia lagi tanggung. Ada dua hal yang membuat gue khawatir, pertama dia masih belajar wajarlah nggak bisa buru-buru datang. Kedua, dia belum makan siang. Haduh... gue berzikir sambil berdoa dalam hati berkali-kali supaya dia baik-baik aja di perjalanan.
Gue membuka tas mencari buku bacaan, sialan nggak ke bawa. Sambil nunggu gue melakukan dua hal, pertama sedikit membaca buku karya Richard Carlson yang berjudul 'Jangan menjadikan masalah kecil menjadi besar' di bab pertama membahas tentang berhenti memusingkan hal-hal kecil. Gue benturkan dengan keadaan sekarang, keterlambatan teman di perjalanan adalah masalah kecil jadi gue harus berhenti memusingkan, lebih baik gue mendoakan semoga dia baik-baik saja.
Di bab kedua membahas berdamailah dengan ketidaksempurnaan. Yeah, keterlambatan teman gue itu masuk kepada ketidaksempurnaan, harusnya jam setengah dua sudah datang ini tidak ada kabar, gue harus berdamai dengan itu. Dengan cara kembali mendoakan semoga dia baik-baik saja, dan ketika dia datang gue harus tetap sambut dengan baik karena bagaimana pun juga dia sudah berjuang melawan rasa takutnya mengendarai motor, jadi tak perlu memasang muka masam yang dipenuhi kekecewaan, calm aja.
Waktu menunjukkan pukul dua siang, tidak ada tanda-tanda dia datang, chat gue juga belum dibalas. Apalagi yang harus gue lakukan? Gue sudah menunggu hampir satu jam. Supir Bis, PS dan Angkot langganan gue sudah berkali-kali melambaikan tangan untuk Otw, tapi gue harus bareng teman.
"Calm. Tunggu bentar lagi yah, jernihkan pikiran." Ucap gue dalam hati agar tetap sabar menunggu.
"Tuhan, pelajaran apa yang ingin berikana kepada hamba." Pikir gue dalam hati, yeah, situasi ini tentunya ada campur tangan Tuhan, dan dibalik ini pasti mengandung pelajaran yang harus gue petik. Setelah gue pikir-pikir ada beberapa pelajaran, diantaranya:
1. Menyepelekan waktu
Gue pernah dulu janjian dengan orang lain, alih-alih gue datang tepat waktu ini nggak, karena terlalu menyepelekan. Padahal dia orang sibuk, bayangkan gue berada di posisi dia yang mau meluangkan waktu sibuknya untuk bertemu gue, tapi datangnya tidak sesuai kesepakatan dengan alasan-alasan yang penuh kepalsuan. Gue sitigfar, betapa kecewanya orang itu dulu, dan betapa bodohnya gue dulu menyepelekan waktu. Biarlah gue jadikan pelajaran aja.
2. Melatih kesabaran
Tuhan sedang memberi kesempatan kepada gue untuk berlatih lagi menjadi orang yang sabar. Gue mikir betapa tidak sabarannya dulu dalam melakukan sesuatu, selalu buru-buru nggak mau nyantai, padahal segala hal apa pun yang diburu-buru itu tidak baik.
3. Tenang menahan emosi
Menunggu tanpa kabar selama setengah jam, wajar nggak kalo gue marah? Tergantung. Kebanyakan orang ketika menunggu yang prosesnya lama selalu marah-marah, termasuk gue. Tapi dalam posisi sekarang gue harus tetap tenang dan mengendalikan emosi agar tidak naik pitam.
4. Peka dengan keadaan
Kalo gue nggak peka dengan keadaan teman, mungkin gue sudah berulangkali telepon dia, tapi itu tidak gue lakukan. Yeah, gue harus peka dengan keadaan dia yang mungkin harus susah payah berjuang membawa motor.
Masih ada beberapa hal yang gue dapat dari peristiwa itu, tapi gue stop dulu dah.
"Lima belas menit lagi kalau elo nggak datang, maaf gue otw duluan." Kata gue memberitahu dia lewat Chat. Seperti biasa, berakhir centang abu-abu, yeah, dia masih fokus berkendara.
Lima belas menit tak ada kabar dan tak ada tanda-tanda dia datang, dengan hati berat gue putuskan buat naik mobil angkutan umum. Gue sudah menunggu satu jam lebih, tapi sia-sia maka gue harus memilih tetap diam ketinggalan acara atau berangkat duluan mengikuti acara meskipun mungkin sudah tertinggal jauh.
"Gue duluan, elo hati-hati di jalan." Ucap gue ketika mau naik mobil Bis sambil melihat ke belakang siapa tahu tiba-tiba dia datang, ternyata nggak.
Di dalam Bis gue kembali merenung perihal apa yang gue dapatkan dari peristiwa ini.
Ketika gue sampai di palima, langsung naik angkot menuju kampus utama untirta. Gue buka Wa, dan tertera balasan darinya yang mengatakan permintaan maaf atas keterlambatan datang, semua ini terjadi karena dia membawa motor kayak siput.
Menyikapi hal itu gue tetap santai, malah gue mengapresiasi atas keberanian dia membawa motor melawan ketakutan. Itu luar biasa. Kalo ditanya apakah gue kecewa? Yeah, gue jujur kecewa. Tapi kekecewaan gue pudar karena terpukau oleh kegigihan dan keberanian dia membawa motor, gue berharap semoga keberanian itu menjadi langkah awal menerima masa lalunya yang mungkin kelam.
Di dalam Mobil gue sempat berpikir brutal. Jujur dah gue merasa bersalah kepada Ibunya. Tadi gue bilang kepada ibunya baik-baik, setelah melepas anaknya pergi, eh, kembali lagi nggak jadi ke kampus, apa respon si Ibunya?
Gue sempat kepikiran buat mendatangi rumahnya, sayangnya gue nggak tahu alamatnya. Apa yang harus gue lakukan? Opsi pertama gue chat teman-teman yang punya motor buat nganter, kalo gue naik kendaraan umum waktunya mepet, gue kan janji sama emak sampai Sore doang. Mereka pada nggak aktif, nggak mungkin dong gue minta sharelock ke patner dia pasti mikir dua kali sebelum memberikan alamat.
Misi untuk datang ke rumahnya gagal, sebenarnya bisa aja gue paksakan cuman waktunya mepet, dan gue mikir ngapain ke sana kalau bisa lewat WA, lagian ini hanya masalah kecil, ngapain gue menanggapi dengan lebay, calm aja dah lebih baik gue fokus ke acara nanti di kampus.
Gue menyayangkan dengan keputusan dia yang putar balik ketika tahu gue sudah pergi duluan, tapi gue mengerti dengan keadaannya, biarlah. Gue hanya bisa mendoakan yang terbaik semoga dia selamat sampai tujuan.
Acara dialog publik dengan tajuk 'Kebermafaatan perpustakaan kampus' sudah berlangsung lama, gue ketinggalan jauh. Tapi biarlah yang penting gue bisa datang dan berusaha mendapatkan ilmu baru.
Gue pulang jam lima sore, lumayanlah dengan waktu satu jam gue pasti datang ke rumah. Malamnya gue hanya menulis review acara dialog publik setelah itu tumbang, urusan tulisan hari ke delapan belas liburan untuk sementara gus cansel dulu, tubuh gue mempunyai hak buat rehat sejenak dari kesibukkan yang menguras mental.
Soal keterlambatan teman gue yang datang, gue anggap itu suatu pembelajaran. Justru itu pelajaran pertama yang Tuhan berikan kepada gue sebelum ikut acara Dialog Publik. Gue berterima kasih kepada Tuhan telah diberikan pelajaran yang berharga itu, dan tak lupa berterima kasih kepada teman gue yang juga secara tidak langsung memberikan pelajaran yang berharga buat bekal masa depan gue menjalani kehidupan.
0 Komentar