"Coba teman-teman perhatikan, sekarang sedang booming pelatihan-pelatihan Publik Speaking. Tapi apakah ada pelatihan mendengar?" Tanya Kang Jova, pemateri kali ini.
"Ouh iya yah, tidak ada." Jawab kating. Sedangkan yang lain mengangguk-anggukan kepala, ngantuk.
"Mengapa tidak ada pelatihan itu? Bukankah semua orang ingin didengar? Bukan dinasehatin melulu."
Gue diam mencerna kalimat itu. Kata-kata yang sederhana, tapi begitu menampar jiwa gue. Yeah, betapa banyak bicaranya gue selama ini tanpa mau sedikit meluangkan waktu mendengarkan apa kata orang. Apa ini termasuk alasan si dia meninggalkan gue? Entahlah.
Diskotik (Diskusi asyik sosial politik) kali ini membahas soal mengendalikan emosi. Dan emosi itu ada enam, yaitu Jijik, marah, takut, terkejut, bahagia dan sedih. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu masuk ke sedih, komitmen dengan si dia itu masuk ke bahagia dan lain sebagainya tinggal di kembangin dari ke enam komponen tersebut.
Kecerdasan manusia di kepala, yeah kepala keluarga haha. Itu memiliki tiga komponen, yaitu IQ, SQ, dan EQ. Intelektual tanpa spritual itu pincang, dan IQ, SQ tanpa EQ itu tidak bakal berjalan kepada kebenaran. Sedangkan aku tanpamu? Entahlah.
Berikut gue paparkan apa aja yang didapat ketika mengikuti diskotik.
Ada Lima Komponen Kecerdasan Emosional
1. Sosial skill
Memiliki kecerdasan sosial skill itu harus. Dia bisa berbincang dengan orang sekitar, tanpa merasa kesepian. Kan suka ada yang berada di keramaian tapi perasaan dia seperti sendiri aja gitu. Gue pernah berada di posisi ini, dan biasanya hal ini terjadi karena kita tidak bisa berkomunikasi. Mau ngomong apa yah kalo ngobrol? Malu amat yah? Memang sih skill ini susah bat dah dikuasai, perlu proses yang panjang.
2. Self awareness
Memilki kesadaran diri terhadap apa yang bisa dikendalikan dan tidak bisa dikendalikan. Biasanya orang seperti ini memiliki batasan-batasan dalam segala tindak-tanduknya melakukan sesuatu. Kalau kapasitas dia tinggi maka akan melakukan hal-hal yang tinggi meskipun resikonya lumayanlah. Sebaliknya bila kapasitasnya rendah, dia sadar diri untuk tidak melakukan hal tersebut. Contohnya kita ingin mendapatkan hati si dia, tapi dia lebih memilih yang lain. Alih-alih bersedih hati, kita sadar diri bahwa itu pilihan dia ngapain ditangisi, lebih baik cari lagi, kan gitu.
3. Self regulation
Memiliki pengaturan diri dalam melakukan sesuatu, nggak asal aja gitu. Dia bukan hanya cerdas mengatur diri, tapi juga bisa mengelola dirinya mau melangkah ke mana. Aturan untuk melakukan hal tersbut gimana aja? Kalau gagal apa opsi selanjutnya? Detail bat dah.
4. Motivation
Kecerdasan yang satu ini tidak asing lagi di telinga kita. Banyak orang-orang yang sering memotivasi orang lain, pun banyak orang-orang yang yang tidak bisa memotivasi orang lain, tapi dia hebat memotivasi diri. Yang menjadi masalah adalah tidak bisa memotivasi diri sendiri, inginnya di motivasi oleh orang lain. Lah, nggak apa-apa emang, but anyway tidak sepenuhnya baik.
Seperti yang pernh gue bilang di tulisan sebelum-sebelumnya bahwa, seorang pakar otak asal Amerika Jim Kwik pernah berkata:
Telur yang pecah dari luar menandakan kehancuran. Sedangkan telur yang pecah dari dalam menandakan awal kehidupan.
Kita kadang benci sama diri sendiri, dan hal itu membuat motivasi diri tidak lahir di diri kita. Alih-alih menerima diri dengan segala kekurangan dan kelebihannya, ini malah membandingkan dengan orang lain. Padahal setiap orang itu unik dan tidak bisa disamaratakan. Maka dari itu, terimalah diri apa adanya, lalu katakan kepada diri baik-baik, bunuh diri yuk! Haha, anjay juga.
5. Empaty
Kecerdasan empati itu perlu banget. Bedanya antara empati dengan simpati adalah, kalau empaty itu merasakan apa yang orang rasakan lalu dia bertindak membantunya. Sedangkan empati itu hanya sebatas merasakan aja nggak mendalami ke lubuk terdalam.
Contohnya, teman gue curhat motornya dicuri oleh satpam kampus gue merasakan apa yang dia rasakan, tanpa motor itu di nggak punya motor lagi. Gue datangi satpam itu, dan meminta motornya dikembalikan, ini masuk ke empaty. Kalau gue hanya diam doang nggak nanya lebih dalam lagi hanya sebatas ouh kasihan amat, ini masuk ke simpati.
Berikutnya Kang Jova menjelaskan perihal Marshmallow experiment. Apa itu? Suatu eksperminen yang digagas oleh Walter Michael tahun 1960, di Standford University.
Bentuk eksperimen itu adalah dia mengumpulkan anak-anak 4 orang masuk ke sebuah ruangan yang di depannya ada beberapa permen marshmallow. Michael berkata kepad anak-anak itu dia akan pergi keluar selama dua puluh menit, bila ada salah seorang diantara mereka yang menunggu untuk tidak memakan marshmallow itu sampai dia datang lagi ke ruangan, maka akan mendapatkan beberapa Marsmallow dari yang ada di depan mereka. Akhirnya dia keluar. Yeah, keluar grup waatshaap wkwk.
Dari beberapa anak itu, ada sebagian yang memakan ada sebagian lagi yang menunggu memakannya sampai Michael keluar. Lama menunggu tanpa kepastian, semuanya makan marshmallow, hanya ada satu anak yang tidak memakannya dengan alasan akan mendapatkan lebih dari ini, jadi nunggu dulu nggak sih. Kemudian setelah waktu habis Michael masuk mendapati satu anak belum memakannya.
Di kemudian hari setelah mereka dewasa, anak-anak yang dulu tanpa sabar menunggu makan hidupnya biasa saja kayak kebanyakan orang. Sedangkan orang yang menunggu makan sebelum Michael datang, hidupnya sukses. Setelah keluarganya diwawancara oleh Michael, ternyata hidupnya teratur mulai dari mengendalikan diri, perasaan, dan kebutuhan. Produktif gitu. Eksperimen ini berhasil dan dinamai delayed gratification.
Apa itu delayed gratification?
Sederhananya menunggu kepuasaan sesaat untuk mendapatkan kepuasaan yang lebih hakiki. Seperti halnya si anak tadi, bila dia mengikuti anak-anak lainnya ingin memuaskan diri secara instant, dia bakalan makan. Tapi karena dia mikir kalau saya menunggu memuaskan keinginan sekarang, lebih baik menunggu saja dan mendapatkan lebih dari ini. Akhirnya dia dapat.
Hal ini yang sedang terjadi di masyarakat selalu ingin instant tanpa mau menunggu yang di dalamnya pahit berproses menuju ke sana. Mereka ingin bahagia tertawa bersama teman-teman, padahal dalam hatinya ada keraguan akan hidup selanjutnya. Mengapa demikian? Karena mereka memuaskan segala sesuatu bukan pada saatnya, bukan pada tepatnya. Padahal segala hal apa pun akan indah mempesona di waktu yang tepat.
Seperti halnya kita mengapa mau belajar di kampus dengan segala bermacam-macam tugas memusinhkan kepala dari Dosen? Padahal lebih baik tidak belajar dan memuaskan diri dengan bersenang-senang menikmati masa muda. Tapi mengapa kita tidak memuaskan diri, malah ngampus? Karena kita sadar dan paham bahwa rasa pusing ini akan membawa kita kepada kesuksesan.
Seperti halnya teman gue kenapa nggak sering makan di kantin kayak orang-orang ketawa haha-hihi menikmati hidup tanpa pernah terpikirkan olehnya, betapa orang tua di rumah berharap kepulangannya dari kampus menjamin kebahagiaanya. Karena teman gue mau delayed gratification hal itu dengan belajar dan belajar, setelah dirasa cukup baru bisa menikmati apa yang dulu belum pernah dirasakannya.
Seperti halnya teman gue kenapa mau berjalan ke kampus tidak bawa motor kayak orang-orang, padahal dia tinggal merengek dan menuntut orang tuanya untuk membelikannya motor. Karena dia tidak mau memuaskan kenikmatannya sekarang dengan punya motor lantas membuatnya lalai. Tapi dia delayed gratification sampai dirasa waktunya sudah tepat.
Semua orang ingin kesetiaan, tetapi tidak mau merasakan betapa sakitnya sendirian, di tengah orang-orang yang sibuk memamerkan pasangan.
Kebersamaan itu akan sangat bermakna dan sangat berharga sekali bila sebelumnya kita mau merasakan sakitnya sendirian tanpa ada pasangan. Bila kita sudah delayed gratification kemudian menikah, maka kesetiaan pasti akan terjalalin, karena itu spesial. Sebelum-sebelumnya dia belum merasakan akan hal itu.
Tapi bagaimana kalau misalnya kita delayed gratification, dengan harapan akan mendapatkan kesuksesan yang di impikan, eh nggak dapat, gimana tuh? Teegantung persepektif. Tapi dalam kecamata gue nggak sia-sia justru itu akan menjadi pengalaman berharga bagi kita. Dan dengan pengalaman itu gue trasfer ke orang lain termasuk keluarga kecil gue kelak.
Pembahan selanjutnya ada beberapa kecerdasan yang dimiliki oleh semua orang, cuman gue tulis dua doang. Diantaranya:
1. Verbal Linguistik (word smart)
Kecerdasan berbahasa yang baik, dia pintar publik speaker, mendengarkan, menjelaskan, menulis dan lain sebagainya.
2. Intrapersonal (self smart)
Kecerdasan mengelola diri, emosi dan apa yang diinginkan oleh diri. Biasanya orang seperti ini lebih mencintai diri, mandiri, tapi tidak egois. Dia tidak fokus menilai kekurangan diri, tetapi fokus kepada kelebihan diri. Setiap hari sibuk memperbaiki diri untuk meningkatkan kualitas tanpa melibas orang-orang sekitar.
Psikoanalisis Vs Behaviorisme
Psikoanalisis ini gagasan dari Sigmund Freud di mana tindak tanduk kita dipengaruhi oleh alam bawah sadar, spontan aja gitu melakukan sesuatu. Misalnya gue suka sama si dia karena dulu, mungkin pernah melihat wanita cantik seperti halnya si dia lalu masuk ke alam bawah sadar, dan alam bawah sadar itu menyimpannya dalam otak. Ketika gue melihat si dia, alam bawah sadar gue merespon bahwa itu perempuan yang baik, datangi dia dan ajak kencan sebelum digenggam oleh orang lain.
Alam bawah sadar itu adalah, Id (Alamiah) Ego (Realita) Superego (Moral) kebetulan gue baru baca buku pemikiran Sigmund Freud, makin paham aja dah gue.
(Untuk Id, Ego, dan Superego sedang gue perdalam lagi karena gue belum begitu paham)
Dalam kecamata Sigmund Freud ada dua tipe manusia, pertama yang mampu mengelola ego deng baik. Kedua, lemah mengelola ego. Bila kita bisa mengelola dengan sebaik-baiknya maka menjalani hidup ini tidak seperti apa kata orang, tapi seperti apa Tuhan dan seperti apa yang gue bisa.
Cara memperkuat ego
1. Lihat masa lalu
Bila dalam menjalani hidup kita seperti apa kata orang, karena kita tidak percaya diri dengan versi diri, maka lihatlah masa lalu kita mengapa bisa seperti ini.
2. Cerita ke orang lain
Curhat itu harus, tapi tidak selalu ke orang lain tergantung kita mampunya. Kalau punya teman yang dapat kita percaya dan nyaman bila diajak curhat, ya, itu bagus. Tapi buat yang nggak punya teman, carilah media lain seperti menulis, melukis, menyanyi dan melakukan hal-hal lain yang tidak bertentangan dengan aturan-aturan berlaku.
3. Kenali bertahan
Kendalikan diri dalam situasi apa pun, bertahanlah di situ jangan ke sana-ke mari karena kita bukanlah Burung kenari yang sukanya menari-nari wkwk. Semakin kita mampu bertahan dari situasi sulit maka ego yang akan datang biasa aja. Sebaliknya bila tidak mau bertahan dengan situasi sulit, maka ego akan melemah dalam menjalani hidup ke depannya.
Behaviorisme
Gagasan ini dari John B Watson. Dia bertentangan dengan teori Freud soal bawah sadar. Dalam kecamatanya, tidak ada alam bawah sadar kalau nggak ada tindakan. Ada, karena ada tindakan bukan karena alam bawah sadar.
Semua hal itu bisa dikondisikan bukan bawaan dari lahir. Misalnya Ayahnya seorang sepak bola yang hebat, belum tentu anaknya hebat bermain bila, kecuali dia mau berlatih seperti halnya Ayahnya dulu. Dari tindakan itu akan terbentuklah dia menjadi pemain sepak bola.
Untuk gagasan behaviorisme ini gue nggak mencatat banyak karena gue paham inti pointnya ke mana.
Di akhir sesi karena gue belum begitu paham akan hal ini, gue bertanya perbedaannya antara psikoanalisis ini dengan behaviorisme. Setelah gue mendapat jawaban sedikitlah gue mendapat pencerahan. Perbedaannya adalah, kalau psikoanalisis percaya bahwa segala hal apa pun terjadi karena adanya alam bawah sadar. Contohnya nada dering hp kita sama dengan yang lain, terus nada dering itu bersuara di hp yang lain, reflek dong gue ambil hp sendiri, padahal itu di hp yang lain. Begitulah kinerjanya.
Sedangkan behaviorisme tidak, dia bertindak karena beneran ingin bertindak. Dan tindakan itu akan memberikan stimulus respon kepada dirinya sendiri.
0 Komentar