Kata Miss Dita: Pemerataan Pendidikan Ojo Kendor

Foto bareng Miss Dita ketua cabang PKMB HSPG
Kemarin, gue bersyukur bisa bertemu dengan Miss Dita, salah satu ketua cabang PKBM HSPG kota Serang. Gue nggak sendiri, melainkan dengan teman-teman kelompok yang lain. Katanya sih, ini kegiatan kunjungan ke pusat kegiatan belajar mengajar, setelah sebelumnya di ospek jurusan dibahas perihal ini. Gue sih calm aja.

Seperti biasa, gue datang telat haha. Memang mahasiswa kurang hajar nih gue wkwk. Alhamdulillahnya mau pada nunggu gue doang seorang, meskipun pada akhirnya gue nggak bisa ikut foto bareng kelompok, yeah, bodo amat.

Kami berangkat naik angkot, karena naik haji belum saatnya. Di dalam mobil, teman-teman gue pada ngeluh, katanya sih tempatnya terlalu dekat nggak seru! Harusnya pilih yang jauh, biar sekalian healing. Dalam hati gue hanya bilang, calm aja dekat mah. Karena sia-sia jauh kalau pada akhirnya sama-sama acuh tak acuh. Yeah, begitulah.

Benar kata teman gue tadi, tempatnya dekat banget hanya butuh waktu 10 menit doang. 

Tanpa basa-basi dulu, materi dimulai. Tadinya gue mengira, apakah dengan waktu 2 jam kami bakalan betah duduk? Bayangin loh, 2 jam. Ya aja kalau duduk di pelaminan mah, ini bukan men. Tapi, setelah berjalanny waktu begitu cepat berlalu dan pembahasan masih panjang.

Miss Dita membawakan materi dengan santai, nggak formal-formal amat. Mungkin beliau sudah punya patokan kalau bahasnya formal kami bakalan ngantuk. Mungkin yah.

Ada beberapa hal yang gue dapat dari materi yang dipaparkannya itu, diantaranya.

 1.  Keseimbangan Pendidikan
        Banyak orang-orang yang bilang bahwa pendidikan kita belum merata, dan itu perlu ditingkatkan. Dalam hal ini, berarti pemerintah sedang berusaha meningkatkannya, masa kita diam doang. Minimal meningkatkan kualitas diri masing-masinglah. Bukan diam-diam minta keadilan, atau diam-diam jadian dengan yang lain haha.

"Apakah pendidikan formal itu cukup untuk meningkatkan kualitas diri?" Tanya Miss Dita kepada kami.

"Belum miss," jawab kami serentak.

"Kenapa?" Pancing Miss Dita

"Karena formal itu ya formal doang Miss." Jawab teman gue yang membuat ruangan riuh oleh tawa. Tapi ada benarnya juga sih.

Miss Dita pun menjelaskan. Bahwa pendidikan formal itu belum cukup dalam meningkatkan kualitas diri. Kenapa? Karena peran guru di sana masih kurang memperhatikan siswa-siswinya. 

Dalam hal ini gue sebenarnya dilema. Antara menyalahkan guru atau memahami mengapa perhatian guru kayak begitu. Elo bayangin dalam satu kelas misalnya ada 30 murid, dan itu idealnya tidak luput dari perhatian guru. Itu baru satu kelas, coba kalo ada tiga kelas. Gimana mau fokus coba? Memang bisa fokus, tapi efeknya kalo nggak tifes ya tumbang.

Guru itu bukan robot! Tapi pendobrak! Tapi bagaimana mau menjadi pendobrak, kalo siswa nya membludak. 

"Bro, kan itu tugas dia sebagai guru, kenapa adu nasib?"

"Yeah, itu tugasnya. Tapi apakah dalam mengerjakan tugasnya ada anggaran yang bisa membantu keluarganya di rumah?"

"Kan setiap tahun ada anggaran dari pemerintah!"

"Apakah merata?"

"Itulah masalahnya."

"Terus apa solusinya?"

"Sama-sama dewasakan? Yuk! Pikirkan bareng-bareng."

Setiap saat kita sering mendengar bahasa-bahasa begini. Guru menyalahkan keadaan (faktanya begitu), para akademisi dan pegiat literasi mengkritisi sistem pembelajaran yang dilakukan oleh para guru tidak efektif. Yang benar yang mana sih? Sama-sama benar, cuman hanya butuh ngopi bareng doang sih wkwk.

Nah, di sinilah peran pendidikan non formal ikut membantu kekurangan-kekurangan yang ada di pendidikan formal. Pada umumnya kan sistem pendidikan ada tiga, yaitu: formal, non formal dan informal. Coba kalau ketiga hal ini berperan dengan baik pasti pendidikan kita akan merata. Mengapa? Karena yang ikut pembelajaran akan men-transfer pengetahuannya kepada orang yang belum belajar. Dan bukan hanya di satu tempat doang, tapi diberbagai tempat.

Memang sih, pada prakteknya susah. Butuh  proses yang panjang, dan yang terpenting adalah pengorbanan yang tulus, bukan seremonial doang.

Makannya Rasulullah SAW, pernah bersabda: "Sampaikanlah ilmu meskipun hanya satu ayat" yeah, kurang lebih seperti itu. Maknanya apa? Kita harus men-trasfer pengetahuan kita kepada orang lain meskipun hanya bisa satu ayat doang. Bukan dipendam doang. Susah sih gue juga nggak menggampangkan, makannya harus di mulai dari diri kita dulu.

Harapan gue sih, sudahlah jangan saling menyalahkan soal pendidikan kepada para guru, lebih baik kita bantu. Karena meningkatkan pendidikan adalah tugas kita semua.

 2. Sistem Pembelajaran
      Banyak di sekolah-sekolah dan bisa jadi di kuliahan sistem belajar bank masih berlaku. Di mana para murid dijadikan bejana kosong yang diisi kepalanya oleh guru atau tenaga pendidik yang lain.

Tadi gue sudah goyang di atas mengapa guru di sekolah memakai sistem bank ini, ya karena banyaknya murid di kelas jadi dia nggak fokus, terlepas dari hal-hal lain. Ini memang nggak baik, karena dapat memendam kekritisin dan kemerdekaan murid dalam mengungkapkan gagasan-gagasan yang dia pikirkan.

Perihal ini gue sering bertanya kepada teman-teman, lebih suka guru yang selalu mengajak diskusi supaya kelas aktif, atau guru yang monoton? Rata-rata ingin guru yang aktif. Mengapa? Karena guru yang aktif akan menjadi pendobrak murid-muridnya dalam meraih cita-citanya. 

Gue beruntung sekolah swasta, meskipun banyak kekurangannya. Tapi itu tidak menghambat gue untuk berubah, justru itu menjadi batu loncatan untuk terus berubah dan berubah menjadi... Spiderman haha.

Tentu, gue menyadari semua itu tidak akan berubah tanpa doa dari orang tua dan para guru-guru gue di sekolah. Kenapa gue bilang beruntung? Karena sistem mengajar bank di sana sedikit, dan spirit untuk mengarahkan murid-muridnya meraih cita-citanya kuat banget meskipun waktu harus menjadi korbannya. Yeah begitulah, cuman gue menyayangkan sikap dari teman-teman gue yang bersikap bodo amat dari arahan para guru. 

Ada satu hal yang membuat gue terbuka pikirannya, yaitu di saat Mis Dita mengatakan bahwa program unggulannya adalah lebih ke psikologis. 

Kita semua tahu era ini banyak di dominasi oleh gen z. Dan gen z itu karakternya mudah down, ingin instant, dan nggak mau disuruh-suruh berlebihan. Yang dia inginkan adalah sirkel pertemanan yang baik dan saling memahami. Tapi apakah dinamikanya seperti itu? Tidak. Karena masih banyak bully-ing dan lain sebagainya.

Untuk itu, lingkungan sehat harus diciptakan agar generasi z bisa diselamatkan dari lingkungan yang tidak baik. Salah satu caranya adalah dengan menjadi teman.

Miss Dita dalam metode mengajarnya lebih ke psikologis. Kenapa? Karena katanya sih memakai sistem bank nggak efektif, sebaliknya dengan metode belajar yang mengutamakan kedekatan emosional itu jauh lebih efektif.

Yeah, meskipun harus dibayar dengan rasa capek. Emang mudah menyentuh emosional orang? Nggak. Harus butuh usaha yang ekstra. Termasuk menyentuh hati si dia, butuh kekuatan esktra banget wkwk.

Metode yang miss Dita lakukan itu menurut gue the best. Karena kadang, murid itu lebih menyukai guru yang memahami situasinya sedang apa, bukan dipaksa untuk melakukan tanpa tahu keadaanya sedang terjadi apa.

 3. Ikut Berkontribusi
      Sebagian ada yang mengatakan pendidikan kita meningkat pesat. Bobrok, hancur, tidak adil dan lain sebagainya. Tapi jauh dari problematika itu, apa kontribusi kita dalam membantu meningkatkannya? Meminjam kata kakak saya (entah yang mana) kita berada di lingkaran itu, ngapain diam, ikut berkontribusilah.

Yeah, banyak sih yang ikut berkintribusi dalam hal ini, berbagai macam cara dilakukan, tapi tetap satu tujuan demi mencerdaskan kehidupan bangsa. Tinggal kita mau ngambil di posisi yang mana, apakah di formal, non formal atau informal. Asal jangan jadi paranormal yang ngibuli aja wkwk.

Mungkin hanya itu  kisah gue kemarin. Seperti biasa, banyak pengetahuan baru yang gue dapatkan. Tapi tidak bisa gue jabarkan panjang lebar di sini, bukan nggak bisa melainkan jempol gue kebas bisa-bisa nanti jempol gue copot wkwk.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement