Digeprek Kehidupan

Ilustrasi kuat diambil dari goagle
"Saya sudah keliling 3 kampung, tapi hanya dapat 10 rebu." Kata pedagang cilok cuangki berkeluh kesah sama gue di konter.

"Serius pak?" Sambut gue kaget.

"Yeah, suasana jalanan hari ini sepi. Tapi yeah, kita harus tetap berikhtiar mencari." Jawabnya pasti, lalu pergi setelah membawa vocher kuota.

Sejujurnya gue ngerih menerima uangnya, bukan berarti jijik, melainkan nggak tega. Elo bayangkan, dia baru dapat 10 rebu, tapi memaksakan diri membeli kuota yang harganya 20 rebu, karena harganya juga pas segitu. Mau tak mau ya, gue terima, ya kali gue nombok ke bos.

Itu geprekan yang pertama haha.

Yang kedua, pas malam hari di saat rame-ramenya pembeli ada anak kecil ikut nimbrung. Gue sih fositif thingking aja siapa tahu mau beli, cuman masih rame. 

Setelah sepi, gue sapa mau beli apa, dia diam. Gue sapa yang kedua kalinya, dan dia menjawab.

"Kak, boleh minta air minum?" Dari suaranya yang sendu menahan malu, hati gue tersentuh dan diam.

Tanpa berkata, gue ambil uang dan memberikan air minum yang sedari tadi entah kenapa gue lazy minum. Dalam hati bilang, ouh, ini ternyata miliknya.

Si anak kecil tadi dengan senang hati menerimanya lalu cepat-cepat pergi.

Terakhir, di siang hari gue melihat keluarga badut. Kenapa gue bilang begitu? Karena mereka yang bilang begitu.

"Ini anak saya dan ini istri," kata pak badut memperkenalkannya kepada gue.

"Anak bapak Sekolah?" Tanya gue sok antusias.

"Yeah, masih SMP. Beginilah kerja kami keliling dari satu tempat ke tempat lain. Bapak nggak memaksa yang penting halal." Balasnya dengan bijak.

Dan si bapak badut ternyata mau membeli pulsa buat anaknya. Gue kembali ngerih menerima uangnya, karena itu hasil dari minta-minta. Dengan senyum penuh kepalsuan, gue terima uangnya lalu mereka pergi dengan segudang harapan.

Dari ketiga hal di atas, gue merasa digeprek oleh kehidupan. Tuhan memang masih sayang sama gue, buktinya setiap saat selalu menggprek hati nurani gue dengan hal-hal yang sederhana, tapi maknanya sangat ngena di hati.


Sudahkah gue bersyukur dengan apa yang sekarang dimiliki? Belum. Mengapa banyak mengeluh, kebanding berterima kasih? Entahlah.

Satu hal yang membuat gue harus bersyukur adalah bisa kuliah. Bukankah dulu gue harus negosiasi sampai keluar urat untuk diizinkan oleh nyokap? Bukankah dulu gue harus banyak berdoa kepada-Nya agar keinginin gue terkabul? Lantas mengapa, setelah didapat semua gue malah kufur. 

Bagi orang lain, mungkin bisa kuliah itu privilage yang susah didapatkan. Gue pun berpikiran kayak begitu dulu. Kalau sekarang? Terasa menyimpang. 

Yeah, gue harus kembali menelisik soal rumah, biar tak lupa arah. Buat apa gue kuliah, kalau ujung-ujungnya tetap susah dalam segi pemikiran dan pengalaman.

Mahasiswa itu harus beda, dari pola pikir dan tingkah lakunya. Jangan sampai, sekelas mahasiswa pola pikir masih kayak anak SMA.

Dan yang terakhir soal kualitas diri. Sejauh mana gue menyiapkan diri untuk menatap masa depan? Yeah, kita memang nggak tahu di masa depan itu akan terjadi apa saja karena itu di luar kuasa kita. Tapi bukankah dengan kita menyiapkannya dari sekarang, kita sudah siap seratus persen ditampar kenyataan? Yeah, itulah pentingnya bersiap siaga.

Bukan hanya itu, sudahkah gue siap menjalin rumah tangga dari segi keilmuan, mental, dan materi? Yeah, urusan ini memang masih jauh, gue juga mikir belum saat. Tapi kembali lagi, bukankah dari awal harus disiapkan?

Ibu gue sering nasehatin gue perihal ini.

"Suatu saat nanti, jika kamu sudah berkeluarga menjadilah kepala keluarga yang baik, jangan kayak kebanyakan orang. Urus dan rawat dengan baik. Sekarang persiapkanlah dari awal, kelak kamu sudah siap teliti dulu, apakah kamu sudah mapan dulu dari segi ilmu, mental, dan pengalaman? Karena itu adalah pintu menuju tanggung jawab. Jika salah satunya ada yang cacat, perbaiki segera agar rumah tanggamu lancar sentosa."

Di waktu yang lengang kadang gue kepikiran soal ini. Nasehatnya begitu mengena di hati. Banyak masalah anak remaja sekarang mengkerucutnya kembali kepada kurangnya pendidikan keluarga.

Seperti halnya kemarin gue bilang, ada tiga sistem pendidikan, yaitu: Formal, Non Formal, dan Informal. Mana yang utama? Semuanya sama. Tapi yang paling dominan idealnya harus di informal dulu. 

Apa itu pendidikan informal?

Sederhananya sih, salah satu pendidikan di dalam rumah tangga antara anak dan ibu, atau bisa dari lingkungan tertentu yang dibangun atas dasar kesadaran dan pertanggung jawaban. (Gue dapat dari mentoring satu jurusan wk). 

Ketika si anak mempunyai pendidikan yang baik di keluarga, maka di luar pun insya Allah bisa jaga-jaga. Sebaliknya jika tidak, ya, bakalan roboh. Cuman, kembali lagi tetgantung orangnya.

Karena hal inilah gue sering menggeprek diri, apa yang nanti elo ajarkan kepada keluarga elo nanti? Bagaimana kesiapan diri elo buat menjalani itu semua? Sudah sejauh mana ilmu elo? Dan bermacam-macam.

Buat gue, ini harus sih. Selagi kita bisa kembali menatap masa sekarang. Jangan sampai, kita menatap masa depan doang, tapi memikirkan masa sekarang nggak, gimana mau berkembang. Yeah, gue harus banyak-banyak menggali ilmu dan pengalaman lagi, biar nanti setelah saatnya tiba gue sudah siap siaga menerima tamparan-tamparan kehidupan.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement