Hari Kedua Ospek Fakultas

Foto bareng kelompok Dospem
"Kamu, buka topinya?!" Kata komdis kepada gue dengan tatapan sangar.

"Turunin rambutnya yang benar dong!" Bentaknya lagi.

"Kamu keluar dari barisan, buka name tag nya."

Pagi hari. Matahari masih bersinar terang, angin sepoi-sepoi begitu nikmat nya, gue masuk lagi hukuman. Kali ini bukan nggak bawa obat, apalagi barang-barang bawaan, melainkan rambut gue panjang. 

"Baris yang benar kalian!"

"Jangan cengengesan! Kamu kenapa ketawa lagi!" Semprot komdis ke teman yang di samping gue.

"Kalian, ikuti gue!"

Kami dibawa ke lantai dua, dan masuk ke dalam ruangan khusus. Di situ ada tujuh komdis yang sangar-sangar.

"Baris kalian!"

"Kenapa rambutnya panjang hah! Bukannya pas TM dua sudah di kasih tahu!"

"Kalo ditanya jawab!!"

"Iya kak." Jawab kami serempak.

"Gue punya gunting nih, bentar lagi acara mau di mulai. Kalo elo semua pergi ke tukang cukur nggak bakalan keburu. Ada yang bisa kasih solusi?"

"Dijawab!! Kenap elo pada diam!"

Kami pun diskusi, dan salah satu solusinya memotong rambut yang melewati halis, telinga, dan mengenai kerah baju belakang.

Sebenarnya gue nggak tahu ada aturan kayak begini, karena pas TM dua gue telat datang. Coba dari awal gue tahu, mungkin nggak bakalan begini. Tapi yeah, lumayan pengalaman.

Selesai dipotong rambutnya, yang alhamdulillahnya sendiri-sendiri bukan sama komdis. So, nggak parah-parah amat. Kami pun diperbolehkan untuk ikut ospek bareng teman-teman yang lain.

"Benar kata elo sim, kita harus calm aja saat di hukum. Nanti juga kelar." Kata Mirza memuji gue.

"Yeah, biasa aja. Lumayan pengalaman za. Dua hari ikut ospek kita di hukum dua-duanya haha."

Pas gue datang ke tempat, eh, posisinya pindah. Gue cari-cari kelompok gue kan, gue keliling-keliling sampai ke gerbang haha nggaklah, dan akhirnya ketemu. Seperti biasa respon mereka kayak kemarin.

Posisi gue pas ishoma pindah ke depan, biar merasakan gitu berada di depan si dia wk. Gue kira di depan itu adem ayem, nyatanya gandeng banget. Elo tahu kenapa? Ada si paling provokator di kelompok gue, dan gue ada di posisi dia otomatis suasananya hidup. Nggak kayak dibelakang, pada diam, sambil curi-curi pandang. Pernah gue pergoki dia curi-curi pandang, elo tahu reaksinya? Gue ikut salting.

Materi hari kedua hanya ada tiga, sedikit banget. Dari materi semuanya nggak ada yang membuat gue terkesan, biasa aja gitu. Apalagi pas talk show bareng alumni, gue diem aja. Tapi gue aktif becanda sama kelompok gue. Yang sering gue ajak berbincang namanya Febriana, dia anak jurusan Bahasa Indonesia. 

Awalnya gue kira dia cuek, kayak nggak mau ngobrol sama gue. Pas gue coba, nggak juga. Dia aktif dan responsif. Sesekali dalan obrolan gue selingi gombalan, responnya asyik juga sama kayak si dia. 

Gue nggak lama berada di depan, hanya setengah hari doang. Selepas ishoma Ashar gue pindah lagi ke belakang, dan bersampingan dengan si Dia lagi.

"Hp elo di kumpulin di mentor nggak, Dind?" Tanya gue.

"Weh, iyalah. Elo nggak?"

"Gue kesiangan. So di titipin sama mentor yang lain."

"Kebiasaan kesiangan mulu elo mah."

"Elo tahu nggak Dind. Tadi pagi hp disuruh kumpulinkan."

"Yeah, terus?"

"Gue kasih kan hp nya. Terus gue perhatiin si mentornya. Eh, dia terbang pelan-pelan, soalnya gue mode pesawatin."

"Hahah, ada-ada aja lu mah."

Ser!! Ada kebanggan dalam hati gue bisa membuat dia tertawa lagi.

"Elo tahu nggak Dind, bentar lagi kita akan pulang ke jurusan masing-masing."

"Serius loh?!" Sontak dia kaget.

"Yeah, ngapain gue bohong."

"Terus penjeputannya di mana?"

"Di Sindang (kampus utama). Ya di sinilah bro haha."

"Haha, iya juga yah." 

Gue merasa di ospek kedua fakultas nggak ada yang membuat terkesan selain membuat dia tertawa lagi. Emang parah sih, bukannya sibuk dengerin materi ini sibuk buat gombalan. Ngelag banget! Pola pikir gue pada saat itu. Gue mulai mikir tujuan awal ada di sini, yaitu untuk menuntut ilmu bukan mencari-cari cewek. Nggak apa-apa sih buat hiburan mah, tapi harus tahu batas biar nggak kandas.

Gue melamun, dalam pikiran gue ada percakapan kayak begini. 

"Bentar lagi kita pulang ke jurusan masing-masing." Katanya

"Yeah, biarin ospek misahin, jurusan misahin, tapi cinta kita tetap menyatu satu."

"Hahah, bisa berhenti nge-bucin nggak?"

"Bisa, kan bentar lagi pulang. Kita akhiri cinlok yang penuh sandiwara ini."

"Saran yang bagus..."

Lalu tertawa dengan penuh tanda tanya.

Realitanya.

"Weh, ngelamun lagi loh. Jam berapa sekarang?"

Gue nggak jawab, hanya memperlihatkan jam nya doang.

Situasi semakin ruwet gue rasakan ketika hp sama mentor masing-masing dibagiin. Otomatis hp gue nggak ada, karena ada di mentor kelompok lain. Tadi pagi sih dia bilang ambil aja di bacang, karena dia nunggu di situ. Elo tahu kan posisi gue belum di izinin keluar? Gimana ini? Gue bersikap stay calm aja.

"Hp elo ada?"

"Ada dong, nih," jawab dia dengan santainya.

Gue putar otak untuk menyelesaikan masalah ini. Dan gue dapat dua opsi, yang pertama telpon hp gue (harus se-sama axis) kedua, cari nomor mentornya karena gue masih ingat mentor kelompok berapa dan namanya siapa.

"Elo pakai kartu axis bukan?" Tanya gue ke si Dinda.

"Gue pakai M3." Lalu sibuk, kayak nggak peduli.

Gagal. Gue harus pakai cara kedua. Karena setelah gue tanya ke yang lain juga jawabannya sama nggak pakai kartu axis. Bodo amat dia nggak perhatiin atau nggak peduli dengan apa yang sedang gue alami, gue udah pasrah dan pura-pura santai.

Biar kelihatan santai, gue makan wafer time break di tas yang coklatnya nempel banget. Kalo wafer yang lain kan mudah ditariknya, kalo time break sebaliknya bro. Kuat banget mau dicabutnya, dan membuat tangan gue belepotan coklat. 

Dalam hati gue kesel banget, kok bisa-bisanya terjadi. Di saat posisi gue khawatir soal hp, tangan gue juga belepotan coklat kayak bocah. Gue minta tissu dan membersihkannya. Kemudian gue pinjam hp Silmi buat cari nomor mentor, karena dia punya masih menyimpan dekomen kelompok fakultas. Gue cari-cari hasilnya nihil, makin aja gue diteken sama keadaan untuk khawatir. 'Calm-calm, nanti juga ada'. Kata gue dalam hati menenangkan.

Ospek pun beres. Gue kira pas penjemputan jurusan, pendidikan non formal yang pertama, ternyata nggak. Ada di tengah-tengah. Justru pendidikan khusus yang duluan, nggak pertama sih. Dia pergi tanpa pamit, minimal tatap gue. Ini hanya fokus tatapin hp. Gue istigfar dalam hati, dia siapanya gue yah? Hanya temen sekelompok doang.

Dia udah pergi, kehawatiran gue makin menjadi-jadi. Apalagi pas ikut penjemputan jurusan, gue banyak ngelamun. Orang-orang pada happy kayak party, gue sepi kayak mau mati. 

Setelah shalat Maghrib gue langsung pergi ke bacang, dan nggak ada mentor yang gue cari. Gimana nih? Gue tetap so bersikap calm, kayak nggak ada masalah gitu. 

Gagal cari mentor, gue tanya ke panitia. Dia arahin gue ke temennya yang ternyata anak BEM, nggak tahu bagian apa. Orangnya calm, sambil nyari di bilang sama gue jangan khawatir aman kok.

Eh, gue diarahin lagi ke temennya, yang ternyata kenal nama gue. 

"Hp elo yang mana?" Tanya kating

"Yang ini bang."

Dengan gesit dia ambil hp d tasnya dan memberikan ke gue.

"Hampir aja loh hilang. Soalnya orang yang elo titipin hp pulang dan nitipin ke gue. Beruntungnya ada ktp di dalamnya, coba kalo nggak ada, pusing gue cariin."

"Iya bang. Makasih." Kata gue dengan bahagia sangat. Yang dibalas dengan anggukan.

Hp gue ketemu, kelompok gue udah bubar, ya udah gue pulang aja. Wong si dia juga udah pulang wkwk.

Dari situ gue belajar, ternyata kita harus berhati-hati dalam menyimpan sesuatu. Salah sedikit konsekuensinya elo bisa tamat. Termasuk gue harus bisa menyimpan rasa ini dengan baik, biar ketika waktu yang tepat datang, gue bisa memanfaatkannya.

Yeah, begitulah kira-kira yang terjadi pada ospek kedua Fakulas. Banyak hal yang gue dapat termasuk hampir dapat hatinya wkwk.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement