Melepas Dengan Ikhlas

Foto diambil dari goagle
"Apakah dengan bunuh diri, atau melukai tubuhmu bisa membuatmu kembali bahagia?" Tanyaku kepadanya selepas ia kembali self harm.

"Yeah, lumayan. Karena apalah arti hidup jika hidup tidak merasa hidup, seperti orang hidup."

"Kamu aneh, hanya karena cemas memikirkan hidup, kehidupanmu serumit ini. Padahal dari awal sudah kukatakan, tiada orang yang tersenyum dengan masalahnya tanpa mengubur rasa cemasnya dalam-dalam."

"Tapi itu susah!"

"Siapa yang bilang mudah? Semuanya memang susah. Tapi itulah hidup."

Ia hanya read doang balasanku, buktinya hanya centang biru. 

Yeah, menjalin hubungan dengan orang yang bermasalah dengan dirinya memang tak semudah kata. Mungkin, pergi dan menimba ilmu lagi itu yang terbaik, dari pada tiap hari aku ikut cemas memikirkannya, tanpa berusaha mempersiapkan masa depan.

Aku tahu, kamu itu tipe orang yang Keras Kepala. Dan tentunya kamu ingin selalu menang ketika berdebat. Soal Keras Kepala, aku tak mempermasalahkan. Tapi tahukah kamu? Ada satu hal yang membuatku prihatin kepadamu. Yaitu, kecemasanmu. 

Ya, cemasmu yang berlebihan terhadap suatu persoalan membuatku prihatin. Apalagi ketika kamu sedang dilanda masalah, lalu kamu tak bisa mengendalikan emosimu. Duh! Tanganmu pasti yang akan menjadi korban. Kau bersitkan Pisau untuk melukai tanganmu. Lalu setelah itu kau menjadi tenang kembali. Terus terang, aku kasihan denganmu. Tapi apa boleh buat? Aku tak bisa melakukan apa-apa, selain bersedih hati ketika kau mengeksekusinya. 

Andai aku berada disampingmu, mungkin aku akan memberikanmu ketenangan dengan caraku sendiri. Lalu mengatakan "Semua ini PASTI! Akan baik-baik saja." Dan masalah yang menekan pikiranmu, akan aku pastikan kembali normal. Tapi sayang, jarak memisahkan kita. Hanya rasa khawatirlah yang aku rasakan. Takut kamu kenapa-napa, dan takut kamu terluka melebihi biasanya. Sering aku memberikanmu kesempatan agar kamu lampiaskan semua unek-unek yang menekan pikiranmu kepadaku. Tapi kau nolak. Apa katamu? 

"Aku bukan seorang Sahabat yang egois, lagi pula kau nggak salah. Ini adalah salahku."

Lalu aku membalas dengan penuh kesabaran. "Tak mengapa ini demi kebaikanmu. Lebih baik kau lampiaskan emosimu kepadaku, dari pada kau melukai tubuhmu sendiri!"

Tapi itulah kamu. Sekali tak mau TETAP! Tak mau. Bingung! Khawatir akan keselamatanmu! Itulah yang aku rasakan. Pernah sesekali kau bilang. "Jangan menjadi orang yang alay. Aku baik-baik saja." Apa?! Setelah kau melukai tanganmu  yang tak berdosa dengan Pisau, kau bilang baik-baik saja? DEMI TUHAN! Aku lebih baik dikatakan alay dari pada kau harus terluka. Apa sulitnya kau lampiasakan kemarahanmu kepadaku? Aku tak akan marah, apalagi benci. Tak akan. Aku memahami karaktermu yang seperti itu, dan aku bisa menerima nya dengan lapang dada. 

Ya, Barangkali inilah kepribadianku yang cenderung memikirkan perasaan orang lain, kebanding memikirkan diri sendiri.

Aku memang telah berapa kali gagal menahanmu untuk tidak melakukan hal itu. Aku harap, suatu saat nanti akan ada seorang lelaki yang bisa menenangkanmu di saat kehilangan kontrol diri. 

Tak perlu kau pikirkan keadaaku nanti, yang perlu kau pikirkan adalah seorang lelaki yang bisa memberikan ketenangan padamu. Dan doaku satu untuk kalian. Semoga kamu dan dia, berjodoh. Lalu dapat berbahagia dalam bingkai Rumah Tangga.

Terima kasih telah hadir dalam hidupku, meskipun kehadiranmu sedikit mengganggu, tapi yeah biarlah. Pergi meninggalankanmu mungkin itu yang terbaik, dari pada aku terus bertahan dan sedikit demi sedikit terperasuk arusmu.

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement