Di malam hari, pukul sembilan malam notifikasi WA berdering dengan nyaring, membuat gue terpaksa harus segera membukanya.
Dalam hati, gue bertanya. Dari siapa lagi sih ini? Bukannya si dia sudah bye-bye mau tidur duluan. Ganggu aja.
Seperti biasa, itu pesan dari grup pengurus OSIS. Mau tak mau, besok harus kumpul. Kalau tidak, ya, ketinggalan informasi. Banyak balasan-balasan dari pengurus yang lain, katanya ini mendadaklah, lagi ada job lah, dan macam-macam. Di bilang sibuk sih, gue juga sibuk bat dah, soalnya banyak tugas-tugas Sekolah yang belum beres.
Semakin malam, balasan-balasan pesan bertambah banyak. Membuat gawai kentang gue nge-lage seketika. Akhirnya gue matiin data, dan tidur.
Tadinya gue juga mau ikut jadi netijen, mengkritik ketos yang semena-mena mengadakan perkumpulan tanpa konfirmasi dahulu. Berhubung, gawai-nya sudah ampun-ampunan buat tambah energi, gue ngalah deh langsung charge.
Besoknya, perkumpulan itu jadi di gelar. Padahal banyak interupsi-interupsi yang tidak setuju, lantas, kenapa Ketos ini tetap melanjutkan? Dasar! Egois! Kayaknya yang hadir bakal sedikit nih, kata hati gue. Nggak, bakalan banyak kok, kata pikiran gue tidak setuju. Ya, intinya sih kumaha Allah.
Ketos sudah menghitung jumlah pengurus yang hadir, raut mukanya terlihat begitu kecewa karena yang hadir sedikitan.
"Ketos, kenapa sih perkumpulannya ngedadak kayak begindang, kan kami juga punya kesibukkan?"
Pengurus yang lain juga ikut menimpali. "Iya ih, seharusnya ada konfirmasi dulu, kalau semua sudah setuju baru di gaskeun."
Gue hanya melihat pertikaian itu sedikit-demi-sedikit berkobar. Bukan berarti gue nggak berani angkat suara. Bukan. Toh, angkat kaki juga berani. Gue lagi lazy aja angkat suara soalnya percuma kasih saran juga sama orang yang otaknya kayak batu.
Peristiwa kayak begini bukan terjadi satu kali, tapi berkali-kali. Sudah beberapa kali kami peringatkan, tetapi alasannya apa coba? Besok dia mau ada acara. Padahal besoknya lagi bisa, ngapain memaksakan kehendak sendiri. Awas aja, gue kudeta juga loh, kayak di Myanmar. Atau kayak di Venezuela, di saat keadaan negeri sedang genting, Hugo Chavez mengkudeta dengan harapan bisa mengembalikan keadaan yang genting menjadi pulih kembali.
Aih, jangan ah, ini Indonesia! Bukan Venezuela atau Negara Boneka yang dengan mudah peraturan kamulfase dibuat sesuai kehendak sendiri.
"Teman-teman yang lain pada ke mana nih, kok pada nggak datang yah?" kata ketos sambil mantangin terus gawai-nya
"Lagi pada sibuk kali," sahut yang lain.
"Alasannya sibuk mulu. Kenapa sih nggak bisa disempatin, padahal sebentar doang heh! Bagaimana kita akan maju kalau pengurusnya kayak begini terus."
Dalam hati gue menimpali, bagaimana mau maju kalau ketuanya egois begini! Ngaca dulu woy!
"Ya udah, kita mulai saja dari pada nunggu yang tidak pasti." lanjutnya sambil menahan emosi kesal.
Bro! Ketika elo satu organisasi dengan orang kayak begini, harusnya bagaimana sih. Apakah harus kritik terus, sampai dia lemas? Atau calm aja?
Idealnya sih memang harus dikritisi. Whatever! Dia mau marah-marah, ngajak ribut, ngajak tawuran, atau perang dingin kayak Amerika dan Uni Soviet pada waktu itu. Yang terpenting adalah, kita memberitahu bahwa perlakuannya salah! Dia tidak peduli kepada yang sedang di Pimpin sedang terjadi apa. Apakah sudah makan belum? Hak-haknya dalam urusan finansial terpenuhi tidak? Pemimpin harus tahu itu. Jangan santai aja, apalagi sambil mencari istri muda. Haduh. Sadar geh! Anak-anak di luar sana masih belum terpenuhi kebutuhannya, ngapain buat anak lagi sih?
Ya, itulah tugas seorang Pemimpin yang harus tahu keadaan yang sedang di Pimpinannya sedang terjadi apa. Agar kesalah pahaman tidak terjadi. Dan juga, slogan rakyat sejahtera bukan dijadikan pajangan semata.
Kalau kita bersikap calm, bagaimana?
Itu salah besar. Kita harus peduli kepada sesama, dengan cara, ikut menyuarakan aspirasi saudara-suadara kita di luar sana yang dipaksa untuk bungkam. Tetapi, kita juga ikut menyuarakan aspirasinya kudu dengan cara yang cerdas. Semisal: stand up, lukisan (kayak M Sholeh) atau yang lain sebagainya, bagaimana cerdasnya kita.
0 Komentar