Rasa Yang harus Diungkapkan


"Gue sebenarnya suka sama elo, Na." Kata itu akhirnya keluar dari mulut gue dengan lancar, setelah tiga hari tiga malam menghafalnya.

Dia hanya terdiam, tak berkutik memandang gue dengan kebingungan. Yeah, dari awal gue sudah mendiagnosis hal ini pasti terjadi. Untuk mengantisipasinya menurut tutorial di buku yang gue baca, gue harus mengambil alih kembali keadaan.

"Na, elo kenapa cosplay jadi patung, Cuy." Ucap gue sambil mengibaskan tangan di depan mukanya.

"Eh, iyah. Gue terkejut dengan apa yang elo sampaikan tadi. Em... gue boleh ini nggak?"

"Boleh apa, Na?" Tanya gue penasaran, soal penolakan gue sudah siap menerimanya.

"Emm... gue izin ke kamar mandi dulu yah." Sambil berlari kecil.

Gue hanya membalas dengan tersenyum, kocak gue kira mau apa. Tapi yeah, ada rasa lega ketika gue mengungkapkan rasa yang membelenggu akhir-akhir ini.

Nama gue Hakim Saputra, teman-teman sering memanggil gue Kim, kalo lagi dipanggil gue nggak nengok-nengok baik Ibu, keluarga gue atau teman-teman yang lain memanggil gue Kim Jong Un! katanya jong artinya tebak-tebakan antara gue nengok atau nggak, sedangkan un artinya uhhh nanti sajalah dipanggil lagi. Yeah, begitulah.

Gue kuliah di Kampus Negeri dengan terakreditasi Unggul. Nggak tahu kenapa dah dapat gelar unggul, padahal lingkungan berikut fasilitasnya kayak pinggul Inul, goyang-goyang terus. Maksud goyang di sini hanya terlihat menarik di luaran doang karena sudah dikenal oleh beberapa kalangan masyarakat, padahal dalamannya mah biasa aja.

Kuliah di Jurusan Pendidikan dan Bimbingan Konseling, menurut gue adalah pilihan kedua yang tak terduga. Yeah, karena awalnya gue percaya pada pilihan pertama, yaitu Jurusan Sastra Inggris bisa diterima. Eh, kenyataannya tidak. Apakah gue nyaman? Lumayan dari pada gue harus gapyear lagi, lebih baik menjalani meskipun dalam hati, Aduh! Aduh! Ya Tuhan! Dulu, ketika masih menjadi mahasiswa baru, gue sering keliling ke beberapa tempat untuk mendapatkan ilmu dan pengalaman baru. Contohnya di Jurusan yang lain ada kegiatan kajian atau apa pun itu, yang terbuka bagi umum dapat dipastikan ada gue di situ.

Ketika ada acara seminar yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, gue diajak oleh teman gue untuk ikut acara tersebut, ya gue gas aja dah. Di sinilah awal gue bertemu dengan Nurjannah, cewek yang akhir-akhir ini menghantui gue, senyum dan tatapannya yang teduh itu loh candu banget hehe. Bisa-bisanya gue bucin, padahal gue terkenal dingin banget, melihat si dia berjalan dengan lekaki yang lain hehe.

"Nama elo siapa?" Tanya gue so asik, kepadanya yang kebetulan dia satu kelompok sama gue.

"Nama gue Nurjannah, biasa dipanggil Nur. Nama elo siapa?"

"Nama gue Hakim Saputra. Biasa dipanggil suka-suka orang dah, hehe."

Lalu kami tenggelam dalam obrolan yang ringan, seputar Jurusan dan Fakultas masing-masing. Kesan pertama gue terhadapnya adalah, dia cewek yang cantik hehe, maksudnya cantik pemikirannya dan itu yang membuat gue suka. Yeah, hanya sebatas suka biasa, gue belum ada pemikiran untuk minta nomor WA-nya, biar gue termasuk pria yang berkualitas, nggak murahan gitu.

Setelah selesai acara tersebut, tidak ada komunikasi diantara kami, wong gue nggak minta nomornya. Gue anggap angin lalu aja kalo sekelebat rindu sama dia. Minat gue terhadap dunia politik menggelora ketika melihat masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat, gue cari informasi sebanyak-banyak perihal politik. Pikiran gue semakin teringat kepadanya ketika ketua jurusan disambutan acara Seminar Nasional mengatakan bahwa, yang dari Fkip boleh mengikuti perkuliahan di Fisip atau Fakultas lainnya dengan mengikuti program Pertukaran Mahasiswa Lingkup Kampus.

"Gue chat aja si Nurjannah ya." Pikir gue dengan ragu. Yeah gue takut tidak ada respon positif darinya, apalagi dia orangnya introvert pasti butuh waktu yang panjang untuk berbincang dengannya Via WA. Lama gue berpikir, akhirnya memutuskan untuk Chat si dia pada malam harinya. Dari manakah gue dapat nomornya? Yeah, dari grup acara seminar nasional dulu.

"Assalamualaikum, Nurjannah? Gue Hakim dari Fkip yang dulu di acara Seminar Nasional itu." Kata gue menyapanya lewat WA.

Sekitar Sepuluh menit, ketika gue mengaktifkan data, di atas layar HP gue melihat notifikasi yang masuk. Damn! Ada notifikasi masuk tanpa nama, dan di situ gue dapat simpulkan ini dari si dia cuy! Tiba-tiba gue merasa bahagia, dan senyum-senyum sendiri hehe.

Akhirnya terjadilah komunikasi lagi diantara kami, setelah sepuluh bulan tidak bertemu dan saling sapa. Gue menyampaikan tujuan besar mengapa gue chat si dia, alhamduliilah dia welcome. Dan yang bikin terkejut dia bilang, apakah mau berbincang sekitar jurusannya mau lewat Chat aja atau Telephone? Butuh waktu beberapa menit untuk gue mencerna kalimat itu, nggak menyangka aja gitu Cuy! Tapi gue memutuskan untuk lewat chat aja, biar gue nggak ketahuan gugup.

Sekitar tiga hari kami berbincang ringan perihal jurusannya, tiba-tiba dia hilang tak ada kabar. Apakah gue spam? Nggak cuy! Biarinlah, mungkin dia lagi sibuk. Gue juga menyibukkan diri dengan beberapa kegiatan organisasi. Setelah tiga hari, dia baru membalas WA gue sambil menjelaskan alasanya mengapa slow respon. Katanya memang lagi ada kegiatan di organisasi, ya udah gue toleransi. Di situlah awal dari terputusnya komunikasi kami, gue nggak mau menumbuhkan harapan lebih kepadanya, oleh karena itu gue bilang sama dia kita akhiri dulu perbincangan seputar jurusan, nanti di lain waktu ketemuan aja biar kondusif dan terarah. Dan dia, meng-iyakan.

Gue kembali fokus kepada kegiatan-kegiatan yang lain, yeah lebih tepatnya sih so sibuk sih. selesai mata kuliah, gue pergi keliling sesuai kemauan diri sendiri. kadang ke Mushola... tiduran hehe. Ke Perpustakaan pamer meminjam buku ke yang lain, dan aktifitas lainnya. Karena sering keliling, teman-teman gue memberi julukan Hakim si tukang menghilang. Gue sih bodo amat dijuluki seperti itu, toh malahan itu bagus karena menghilangnya untuk mencari jati diri bukan berdiam diri lalu lelah sendiri, ujung-ujungnya depresi.

Sekitar dua bulan lebih, gue kembali mengajak si dia untuk bertemu, kami merancang konsep apa saja yang akan dibahas. Eh, menuju hari H tak ada kabar dari si dia, ujung-ujungnya nggak jadi. Gue sedikit kecewa, tapi mau bagaimana lagi toh faktanya juga seperti itu. Dengan kekecewaan itulah, seperti biasa gue membuat sebuah buku yang berisi hal-hal yang ingin gue sampaikan kepadanya, untuk kemudian gue berikan kepadanya. Biasanya dengan hal ini, dapat meredam rasa yang sedang bergemuruh ini.

Kembali terjadilah percakapan diantara kami. Dia meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada gue karena hilang tanpa kabar, alasannya sih lagi ada acara, ya udah kata gue calm aja. Dan setelah itu, kembali tidak ada komunikasi lagi.

Kocak. Itulah satu kata yang menyelimuti pikiran gue. Kok bisa-bisanya gue masih kepikiran si dia yah? Malahan menormalisasi tindakan-tindakan yang dia lakukan, seperti slow respon, tidak menghragai dan lain sebagainya. Perang ego, itulah yang sedang gue alami.

"Kenapa elo diam aja sih?!"

"Mana harga diri elo sebagai lelaki?!" Umpat gue kepada diri sendiri.

Calm aja dah, menjadi kata yang menentramkan diri. Yeah, dari pada gue memikirkannya terus yang berujung ego gue makin naik, alangkah baiknya gue mencari tahu mengapa Tuhan mengirimkan si dia dalam hidup gue? Pesan apa yang ingin Tuhan berikan kepada gue kali ini dengan orang yang baru? Bagus nih gue pikir-pikir.

Semakin lama tak berkomunikasi dengannya membuat gue makin kepikiran, inilah yang membuat gue aneh, kok bisa gitu. Biasanya setelah gue membuat tulisan-tulisan untuk diberikan kepadanya rasa itu sudah selesai, lah ini malah berkepanjangan. Gue mencoba jujur terhadap apa yang dirasakan, mengapa ini bisa terjadi? Setelah gue analisis lebih mendalam, ternyata gue ada rasa suka kepadanya. Damn! Gue harus memutuskan harus dipendam atau diungkapkan. Berdasarkan apa yang gue alami gue memutuskan dengan bulat untuk mengungkapkan.

"Gue sebenarnya suka sama elo, Na." Kata itulah yang gue ucngkapkan kepada Nurjannah, dengan penuh percaya diri. Meskipun jujur dah, gugup itu tetap ada.

Eh, dia malah izin dulu ke kamar mandi, padahal gue belum kelar menyampaikannya, yeah itu baru permukaan. Tapi biarlah, selagi nggak izin pulang harus gue iyakan. Sebagian hati gue mengatakan bahwa dia izin ke kamar mandi karena terkejut, jadi menenangkan diri dulu. Kocak, kenapa gue berprasangka yang enggak-enggak terhadapnya, wush! Harus gue tepis jauh-jauh pikiran itu.

"Na, sorry ya kalo apa yang gue sampaikan tadi bikin elo terkejut. Tapi jujur, gue suka sama elo." Kata gue setelah dia selesai dari kamar Mandi.

"Kenapa elo bisa suka sama gue, Kim. Jujur gue juga aneh kok bisa gitu, padahal secara kualitas dan lain sebagainya gue biasa-biasa aja." Balasnya dengan tenang. Beruntung dari kemarin-kemarin gue sudah persiapan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang seperti ini.

"Gue suka sama elo, karena gue tertarik dengan pemikiran elo yang cantik, Na. Selebihnya gue sudah menuliskannya di buku yang berjudul, mengapa gue bisa menyukai elo. Nih." Sambil menyerahkan buku kumpulan curhatan gue tentangnya.

"Wow! Elo se-niat itu, Kim!" Sontaknya dengan terkejut.

"Haha, biasa aja, Na. Apa sih yang nggak buat kamu."

"Hehe, apaan sih Kim."

"Ouh iya Na. Gue hanya sebatas mengungkapkan rasa saja, selebihnya elo mau membalas atau nggak, itu nggak apa-apa. Yang terpenting gue sudah menyampaikannya."

"Kenapa begitu?"

"Karena gue mempunyai prinsip, seseorang yang benar-benar sayang sama kita, yang benar-benar cinta sama kita, yang benar-benar menginginkan kita akan selalu ada untuk kita. Meskipun kita berpuluh kali menyuruhnya untuk pergi, dia mempunyai beberapa ribu alasan untuk tetap bertahan."

"Elo percaya dengan kata itu, Kim?"

"Iya Na. Gue nggak mau memaksa seseorang untuk suka sama gue, termasuk elo. Apa pun elo, gue menerima danmenghargai." sambil tersenyum dengan tulus.

"Gue speechles kim."

Kami sama-sama dia. Gue melihat dia membuka lembaran buku yang gue berikan, dan tersenyum dengan manis. Masya Allah, so sweat banget hehe.

"Na, gue pulang duluan ya. Toh, tidak ada hal lagi yang ingin gue bicarakan."

"Lah, buru-buru banget Kim."

"Ya, gimana nggak buru-buru, Na. Elo nggak nyadar apa kita sudah ngobrol empat jam cuy!"

"Eh, iya kah?"

"Yups, waktu berjalan begitu lambat ketika kita bersama hehe."

"Hehe, maafin gue ya nggak bisa menjawab sekarang, Kim."

"Calm aja, Na. Elo baca dulu aja buku yang gue berikan. Dan, terima kasih sudah hadir dalam hidup gue ya."

"Iya, sama-sama, kim. Gue juga sangat berterima kasih kepada elo, karena hadirnya  memberikan banyak pelajaran yang harus dipetik.'

Gue membalas dengan senyum, lalu pergi meninggalkannya.

Soal rasa, kita memang tak pernah tahu kepada siapa akhirnya hati ini berlabuh. Semuanya sudah diatur oleh-Nya. Ketika rasa ini hadir, kita harus memutuskan antara memendam atau mengungkapkan. Keduanya memiliki resiko yang harus diterima. Percayalah, jujur dengan diri sendiri untuk memilih diantara keduanya adalah gerbang menuju kemerdekaan terhadap rasa yang kita rasakan itu. 

Posting Komentar

0 Komentar

Ad Code

Responsive Advertisement